Rabu, 13 Juli 2011

SISTEM EKONOMI KERAKYATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN

Adanya kewenangan pada era otonomi daerah memungkinkan pemerintah daerah untuk menetapkan paradigma dan strategi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan. Strategi yang harus diprioritaskan dalam sistem ekonomi kerakyatan adalah upaya penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan.
Pada dasarnya, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat. Pemihakan kepada rakyat ini seharusnya diwujudkan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkannya. Sistem ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak menafikan begitu saja adanya mekanisme pasar. Namun berbeda dengan mekanisme pasar yang dianut sistem ekonomi liberal, sistem ekonomi kerakyatan lebih mengedepankan perlindungan dan pemihakan bagi pelaku ekonomi lemah yang belum mampu untuk bersaing secara bebas dipasar dengan memberdayakan ekonomi kerakyatan.
Ciri utama ekonomi kerakyatan adalah proses produksi untuk menghasilkan produk dan jasa dikerjakan oleh sebagian besar rakyat, dipimpin oleh perwakilan rakyat dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat. Adanya asas kebersamaan ini dapat menghindari adanya kesenjangan di antara anggota masyarakat melalui pemerataan distribusi pendapatan. Dengan penerapan sistem ekonomi kerakyatan, gap antara si kaya dan si miskin tidak akan ditoleransi lagi, karena setiap kebijakan dan program pembangunan harus memihak dan memberikan manfaat pada rakyat yang paling miskin dan paling kurang sejahtera.
Sistem ekonomi kerakyatan ini harus menjadi landasan dalam setiap perumusan strategi pembanguan ekonomi daerah. Penerapan strategi tersebut harus memberikan prioritas untuk memberdayakan ekonomi rakyat yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Dalam penyusunan strategi pembangunan ekonomi daerah diperlukan identifikasi sasaran penyusunan fundamental ekonomi daerah. Untuk itu, dalam Propeda (Program Pembangunan Daerah) maupun Renstra (rencana strategis) perlu ditegaskan apa sasaran yang hendak dicapai oleh suatu daerah. Beberapa sasaran fundamental pembangunan ekonomi daerah diantaranya : (1) Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan (2) Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah dan (3) Meningkatkan pendapatan per kapita.
Penyusunan konsep maupun indikator fundamental ekonomi daerah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak bagi daerah. Fundamental ekonomi daerah pada hakikatnya merupakan indikator yang mencerminkan kondisi riil ekonomi daerah yang meliputi penurunan angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi daerah, dan indeks pembangunan manusia. Dengan indikator ini diharapkan dapat dilakukan identifikasi mengenai profil maupun klasifikasi daerah kabupaten atau kota dalam suatu wilayah provinsi, maupun dalam suatu wilayah negara sehingga dapat dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah.
Indikator lainnya yang harus dirumuskan dalam setiap pemanfaatan sumber daya alam adalah seberapa besar memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini perlu dipertanyakan apakah pemanfaaatan sumber daya alam memberikan dampak dalam penciptaan lapangan pekerjaan? Berapa banyak pekerjaan baru yang dapat diciptakan? Apakah pekerjaan baru tersebut akan meningkatkan penghasilan rakyat setempat? Berapa banyak pekerjaan baru tersebut akan menarik rakyat setempat? Apakah pemanfaatan sumber daya alam dapat menaikkan taraf hidup dan martabat rakyat setempat?
Dalam pemilihan strategi pembangunan ekonomi harus dapat mempertemukan antara berbagai tujuan yang akan dicapai sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan. Untuk itu, penetapan strategi tersebut harus sejalan dengan berbagai strategi yang mendukung pembangunan ekonomi daerah, diantaranya strategi penangulangan kemiskinan.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Penangulangan kemiskinan terutama diarahkan dalam penciptaan kesempatan kerja produktif, pengembangan kapasitas infrastruktur, dan peningkatan kegiatan ekonomi produktif rakyat. Dilihat dari kondisi anggaran daerah saat ini jelas bahwa kemampuan daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan sangatlah lemah. Tidak banyak sumber daya yang dimiliki daerah untuk menciptakan program-program yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan melalui pengeluaran pembangunan yang bersumber dari APBD. Selain masalah terbatasnya anggaran juga terdapat masalah alokasinya anggaran yang seringkali kurang pas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus mengurangi kemiskinan.
Dalam kondisi terbatasnya dana APBD, pemda harus memiliki komitmen kuat untuk melakukan berbagai terobosan, baik dalam optimalisasi alokasi anggaran, maupun dalam penggalian sumber-sumber dana non APBD. Simulasi menunjukkan bahwa adanya realokasi anggaran dari berbagai item di luar pendidikan dan kesehatan, ke sektor pembangunan infrastruktur dasar dipedesaan akan menciptakan efek yang cukup signifikan dalam pertumbuhan ekonomi dan sekaligus memperbaiki akses bagi sebagian besar masyarakat yang akhirnya berkontribusi positif dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, strategi penanggulangan kemiskinan juga harus diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat (community empowerment) untuk memperoleh akses sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Dalam setiap pembangunan proyek infrastruktur haruslah mengikutsertakan rakyat setempat, baik sebagai kontraktor, pemasok, maupun sebagai pekerja proyek. Penunjukan kontraktor dan pekerja dari luar daerah justru akan menyebabkan terjadinya aliran kas keluar daerah sehingga tidak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Untuk itu, perlu ada upaya pemberdayaan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan pengusaha lokal agar dapat berpartisipasi dalam setiap proyek pembangunan di daerah yang didanai dari APBD. Agar rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses setiap pembangunan daerah, maka pengembangan SDM (sumber daya manusia) harus diprioritaskan baik melalui peningkatan kesehatan masyarakat maupun peningkatan pendidikan.
Dalam penerapan strategi pembangunan ekonomi daerah, tentunya peran pemerintah cukup penting dan menonjol. Paling tidak ada beberapa peran yang dapat dijalankan oleh pemerintah dalam pembangunan ekonomi daerah.
Pertama, sebagai pelopor dan koordinator dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi. Sebagai pelopor, pemerintah daerah melalui BUMD, dituntut untuk mempelopori penggalian sumber daya alam yang bernilai ekonomis yang belum tersentuh oleh pihak lain. Selain itu, pemerintah daerah harus mengkoordinasikan di antara berbagai pihak yang mengusahakan pemanfaatan sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Sebagai koordinator pemerintah daerah harus dapat melibatkan dan mengkoordinasikan berbagai dinas terkait, pengusaha swasta, UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi daerah.
Kedua, sebagai intrepereneur pemerintah daerah dituntut untuk terlibat secara aktif dan inovatif dalam mendorong aktivitas menjalankan bisnis di daerah.
Ketiga, sebagai stimulator dan fasilitator. Pemerintah harus dapat merangsang investor untuk masuk ke daerahnya guna pemanfaatan sumber daya di daerahnya dengan memberikan berbagai insentif fiskal, jangan malah menjadikan pajak dan pungutan, serta retribusi untuk memperbesar PAD (pendapatan asli daerah), pembangunan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan, serta menjaga kondisi ekonomi makro daerah secara kondusif.



Fredo Hasugian, S.E,Ak. M.Si

Kamis, 07 Juli 2011

Implementasi Sistem Ekonomi Kerakyatan

Strategi dan pola pembangunan yang dilakukan pemerintah sampai saat hanya mengutamakan pertumbuhan. Sudah saat pemerintah memikirkan strategi dan pola pembangunan yang berbeda, karena terbukti pola itu hanya menyengsarakan rakyat dan menimbulkan EKSES KETIDAKADILAN. Strategi ini dikenal dengan ISITILAH “REDISTRIBUSI WITH GROWTH” (pendistribusian kembali atau pemerataan yang diikuti pertumbuhan). Strategi ini lebih menjamin keberlanjutan pembangunan. Dalam strategi ini, ada tiga hal yang mesti dilakukan pemerintah.

Pertama, harus ada keberpihakan pada rakyat.
Pembangunan harus ditujukan langsung kepada yang memerlukan. Program yang dirancang harus menyentuh masyarakat dan mengatasi masalah mereka sesuai kebutuhan mereka.

Kedua, program tersebut harus mengikutsertakan dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat.
Berbeda dengan kebijaksanaan pembangunan ekonomi Orba yang sifatnya dari atas ke bawah (TOP DOWN), strategi pembangunan alternatif ini bersifat dari bawah ke atas (buttom up).

Ketiga, pembangunan dengan strategi ini harus lebih mengutamakan pendekatan kelompok, misalnya dengan mengembangkan sentra-sentra unggulan menjadi klaster-klaster binaan berdasarkan potensi wilayah atau dengan maksud menciptakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah, alasannya dari segi penggunaan sumber daya bisa efisien.
Pendekatan ketiga ini pada gilirannya akan memperkuat kemitraan dan kebersamaan, baik kebersamaan dalam hal kesetiakawanan, maupun dalam menghadapi era keterbukaan ekonomi, karena setiap klaster yang dibina dengan membentuk lembaga pendamping, dilakukan sejalan dengan upaya mensosialisasikan perlakuan yang sama antara usaha kecil, menengah dan besar, tak ada anak emas atau anak tiri.


Menciptakan sistem kemitraan yang saling menguntungkan, menghindari kegiatan eksploitasi keberadaan usaha kecil menengah dan koperasi untuk kepentingan pengusaha besar. Hal ini perlu ditegaskan karena kemenangan dalam pergulatan perdagangan pasar bebas tidak akan tercapai tanpa adanya rasa kebersamaan dan kesatuan di kalangan dunia usaha.

Selain itu, menurut saya, EKONOMI KERAKYATAN AKAN MENCIPTAKAN LINGKUNGAN DUNIA USAHA YANG BERSAHABAT. Karena di dalam PRINSIP EKONOMI KERAKYATAN, KEBUTUHAN POKOK RAKYAT HARUS TERPENUHI DENGAN BAIK, SEHINGGA NUANSA KETIDAKADILAN AKAN TERHAPUS DARI BENAK RAKYAT. Disamping itu juga, Ekonomi kerakyatan juga akan MENCIPTAKAN KELOMPOK MASYARAKAT YANG SECARA MASSAL MEMPUNYAI DAYA BELI YANG TINGGI, EKONOMI RAKYAT MEMBAIK, sehingga efek selanjutnya adalah POTENSI PASAR PRODUK-PRODUK INDUSTRI BESAR, MENENGAH, DAN KECIL PUN AKAN MENINGKAT, dan itu artinya BAHWA RODA PEREKONOMIAN PUN AKAN BERGULIR KE ARAH NORMAL.

Proses industrialisasi seyogyanya dimulai dari daerah pedesaan berdasarkan potensi unggulan daerah masing-masing dengan orientasi pasar dan ini SEJALAN DENGAN ERA OTONOMI DAERAH yang merupakan realitas mayoritas penduduk Indonesia. Ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi setempat yang umumnya agro-industri.
Berkembangnya KEGIATAN SOSIAL EKONOMI PEDESAAN AKAN MEMBUAT DESA BERKEMBANG MENJADI JARINGAN UNGGULAN PEREKONOMIAN BANGSA YANG DIDUKUNG INFRASTRUKTUR DAN FASILITAS LAINNYA seperti pusat-pusat transaksi (pasar) yang terjalin erat dengan kota-kota atau pintu gerbang pasar internasional. Jalinan ekonomi desa dan kota ini harus dijaga secara lestari. Dalam proses ini harus dihindari penggusuran ekonomi rakyat dengan perluasan industri berskala besar yang mengambil lahan subur, merusak lingkungan, menguras sumber daya dan mendatangkan tenaga kerja dari luar.

Dalam pelaksanaannya, ekonomi kerakyatan juga harus benar-benar menukik pada penciptaan kelas pedagang/wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan tangguh. Untuk merealisaskannya, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran yang lebih besar dan memadai bagi pengembangan usaha kecil dan menengah ini. Inilah peran yang harus dimainkan pemerintah dalam megentaskan rakyat dari kemiskinan menghadapi krisis ekonomi. Adanya kemauan politik pemerintah untuk membangkitkan kembali ekonomi kerakyatan merupakan modal utama bagi bangsa untuk bangkit kembali menata perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini.

Untuk melakukan tugas ini, PEMERINTAH HARUS DIISI OLEH ORANG-ORANG YANG MEMILIKI KOMITMEN KERAKYATAN YANG KUAT. Dengan komitmen ini, mereka akan berjuang mengangkat kembali kehidupan rakyat yang melarat menuju sejahtera.
KESALAHAN DALAM MEMILIH ORANG PADA POSISI-POSISI PENTING EKONOMI AKAN MEMBAWA AKIBAT FATAL. Mereka hanya memperpanjang daftar penderitaan rakyat, KALAU MEREKA TIDAK MEMILIKI SIMPATI YANG DITINGKATKAN MENJADI EMPATI TERHADAP DENYUT NADI KEHIDUPAN RAKYAT DENGAN MENYEDERHANAKAN BIROKRASI DALAM BERBAGI PERIZINAN, MENGHAPUS SETIAP PUNGUTUAN DAN RETRIBUSI YANG TIDAK PENTING YANG HANYA AKAN MENGAKIBATKAN “HIGH COST ECONOMY”, MENCIPTAKAN RASA AMAN yang akan membuahkan suasana kondusif bagi dunia usaha untuk meningkatkan kinerjanya. Rakyat sendiri harus dimampukan mengubah mentalnya dari keinginan menjadi pegawai yang mencerminkan mental “INLANDER” kepada mental usahawan yang mandiri, untuk ini peningkatan sumberdaya manusia melalui berbagai pendidikan dan pelatihan menjadi penting, karena peningkatan ekonomi rakyat mayarakat adanya mental wiraswasta yang tangguh dan mampu bersaing dalam percaturan bisnis di era pasar bebas.

Rakyat harus bisa menciptakan lapangan kerja, bukan mencari kerja. Makin besar dan berkembang usaha mereka akan makin banyak tenaga kerja tersalurkan. Ini tentu menjadi sumbangan yang tidak kecil bagi penciptaan lapangan kerja baru dan pengurangan jumlah pengangguran.

Penataan Koperasi

Koperasi adalah soko guru perekonomian bangsa, yang harus ditata kembali dengan baik dan benar, sehingga betul-betul menjadi ujung tombak bagi penciptaan kemakmuran rakyat. Koperasi jangan lagi dijadikan alat politik kekuasaan. Koperasi harus terbebas dari kepentingan kelompok atau golongan yang ingin mencari keuntungan sesaat.
Menurut saya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dan dibenahi dalam pengembangan koperasi agar lebih maju menghadapi tantangan ekonomi.

Pertama, pembenahan aspek kelembagaan.
Seperti diketahui, kelembagaan koperasi secara garis besar terdiri dari fungsi pengurus, fungsi pengawas, fungsi manajer, dan karyawan koperasi. Dalam prakteknya, pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut tumpang tindih. Ada hal-hal yang tidak jelas dan terkait satu sama lain dalam pelaksanaan fungsi-fungsi itu. Akhirnya, yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang salah satu pihak untuk memperkaya diri sendiri.

Kedua, sumber daya manusia (SDM).
Sebagai badan usaha yang berbasis pada masyarakat golongan ekonomi lemah, masalah yang umum terjadi pada koperasi adalah keterbatasan dan kelemahan SDM. Tenaga pengelola hanya mengandalkan semangat "pengabdian", bukan profesionalisme. Karena itu untuk peningkatan SDM perlu diadakan latihan-latihan intensif atau kursus singkat. Selain itu jalur perguruan tinggi perlu digandeng pula. Koperasi perlu mengadakan kerja sama dengan kalangan perguruan tinggi.

Ketiga, sektor modal dan lingkungan.
Selama ini koperasi dianaktirikan dalam perekonomian Indonesia. Lembaga perbankan lebih mengutamakan pengucuran kredit untuk para konglomerat. Kolusi dan korupsi yang dilakukan sektor perbankan dan konglomerat menyebabkan sempitnya alokasi kredit untuk koperasi. Penyalahgunaan uang negara tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi penyaluran modal kepada segelintir perusahaan konglomerat. Hal ini makin mempersempit kesempatan koperasi untuk memperoleh modal dari perbankan.

Sekarang pemerintah harus mengalihkan perhatian pada koperasi. Alokasi kredit untuk koperasi harus diperbesar. Koperasi harus dipermudah memperoleh pinjaman modal dari bank. Dengan cara demikian koperasi akan berusaha mengejar ketertinggalannya untuk mengurangi makin tajamnya kesenjangan perekonomian Indonesia.





Fredo Hasugian, S.E, Ak, M.Si

Rabu, 29 Juni 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA 2011 : KETIKA EKONOMI MEMBAIK

Pada awal tahun 2011, beberapa lembaga internasional meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 akan lebih baik dari tahun 2010. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank atau ADB) meramalkan pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, pada tahun 2011 rata-rata akan mencapai 7,3 persen. Sebagai negara tujuan investasi, beberapa lembaga juga menyatakan bahwa Indonesia layak dijadikan negara tujuan investasi mulai tahun 2010 dan akan terus membaik di tahun 2011. Japan Credit Rating Agency menaikkan peringkat Indonesia ke tingkat “INVESTMENT GRADE” (LAYAK SEBAGAI TUJUAN INVESTASI). MOODY’S menaikkan peringkat Indonesia sampai pada dua tingkat sebelum layak investasi (investment grade). Sedangkan Standrad and Poor (S & P) menaikkan peringkat Indonesia hanya satu tingkat menuju layak investasi. Pengertian Indonesia sebagai negara yang layak sebagai tujuan investasi oleh lembaga-lembaga internasional tersebut – harap diingat - adalah sebagai TUJUAN INVESTASI TIDAK LANGSUNG atau INVESTASI PORTOFOLIO yaitu dalam bentuk TABUNGAN dan SIMPANAN, DEPOSITO 1 BULANAN, serta SAHAM. Dan bukan dalam pengertian investasi langsung. Hal ini memang terbukti dari membanjirnya “UANG PANAS” yang masuk ke Indonesia akhir-akhir ini sehingga cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai sekitar 92 milyar dolar AS.

Akan tetapi, di samping pihak-pihak yang optimis, terdapat juga pihak-pihak yang pesimis akan ramalan ekonomi tersebut, dan salah satu diantaranya adalah saya sendiri. Ada beberapa hal pada waktu itu yang menjadi alasan penyebab saya pesimis akan ramalan pertumbuhan ekonomi tersebut. Seperti diantaranya Masih Kentalnya di Indonesia Ekonomi Biaya Tinggi (“ HIGH COST ECONOMY”). Menurut analisa saya, bahwa TERKENDALANYA INVESTASI YANG MERUPAKAN MOTOR PENGGERAK UTAMA PERTUMBUHAN EKONOMI AKAN MEMBUAT LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI JUGA LEBIH RENDAH DARI PERKIRAAN YANG OPTIMISTIS DI ATAS. Akan tetapi, pada bulan Juni 2011 ini, secara “DE FACTO”, kejutan demi kejutan sedang dirasakan perekonomian Indonesia. Kala politik,korupsi, dan infrastrukturnya karut-marut dan menuai keresahan publik, PEREKONOMIAN INDONESIA JUSTRU DIPUJI DUNIA. Analisa pihak-pihak yang pesimis terbukti salah secara “UNEXPLICIT”. Indonesia menjadi tempat terbaik untuk memulai usaha (survei BBC 2011), “CONSUMER CONFIDENCE INDEX” kita menempati nomor tiga tertinggi di dunia (survei global Nielsen), posisi daya saing kita membaik dari nomor 54 ke nomor 44 (World Economic Forum), dan masih banyak lagi. Hari-hari ini ratusan CEO Indonesia menerima permintaan audiensi dari pemimpin-pemimpin perusahaan kelas dunia.

Walaupun demikian, masih tetap perlu diingat, bahwa, KENAIKAN PERINGKAT DAYA SAING INDONESIA TERSEBUT LEBIH DISEBABKAN OLEH KARENA “STABILITAS MAKRO” DAN BUKAN KARENA “PERBAIKAN INFRASTRUKTUR”. Kita bisa melihat bagaimana kondisi jalan-jalan , pelabuhan, sampai listrik yang sampai saat ini masih amburadul. Buruknya infrastruktur tersebut telah membuat investasi menjadi mahal atau berbiaya tinggi (“HIGH COST”). Namun pada tulisan saya kali ini, tidak hendak membahas masalah kenaikan peringkat daya saing tersebut. Yang menjadi “GIST” tulisan ini adalah kehati-hatian yang harus dihadapi khususnya di dunia enterpreneurship pada saat ekonomi membaik.

Dengan membaiknya perekonomian, kompetisi di antara para pelaku usaha akan semakin tinggi dan intensif. Memang benar, pasar yang selama ini dianggap menjadi biang keladi kesulitan ekonomi sudah tidak menjadi masalah lagi. “THE MARKET IS THERE, BUT THE PROBLEM IS HERE, INSIDE OUR BUSINESS”. Anda boleh membuka usaha apa saja, dan perhatikanlah, HAMPIR SEMUA YANG ANDA TAWARKAN ADA PEMBELINYA. Akan tetapi, letak permasalahnnya bukan disitu, pokok permasalahannya ada pada KESIAPAN ANDA UNTUK BERKOMPETISI DENGAN WIRAUSAHA-WIRAUSAHA YANG LEBIH SIAP DARI ANDA.
Sebaiknya, usahakan agar anda bersaing bukan karena Anda bisa mendapatkan premium segment dengan harga tinggi, akan tetapi “SEBERAPA FLEKSIBEL DAN EFISIEN STRUKTUR BIAYA ANDA. Atau secara singkat dapat dikatakan fokusnya adalah kelenturan dan kefleksibelan struktur biaya. Perbaikan internal pada sejumlah perusahaan akan mendorong terjadinya “PRICE WAR”, dan ingatlah yang menjadi pemenangnya adalah mereka yang “MEMBENAHI BUSINESS PROCESS, DAN BUKAN YANG MENGUASAI MARKET SHARE”.
Persaingan juga terjadi dalam mendapatkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Perusahaan-perusahaan besar akan fokus pada pengetahuan, sedangkan pendatang- pendatang baru akan fokus pada attitude. “TALENT WAR” akan membuat perusahaan- perusahaan kesulitan mendapatkan SDM sesuai dengan yang mereka butuhkan. Tetapi, beruntunglah perusahaan bahwa pasar SDM berkualitas terbagi dalam dua segmen, yaitu segmen “HIGH BRAIN MEMORY” (tampak dalam nilai yang dicapai seseorang pada sertifikat akademik dan indeks prestasi) dan “HIGH QUALITY OF MYELIN” (MUSCLE MEMORY). Yang diburu perusahaan-perusahaan besar adalah segmen pertama, dan mereka siap melatih SDM yang baru berbentuk potensi menjadi tenaga profesional yang andal.
Segmen kedua biasanya diabaikan perusahaan-perusahaan besar, terutama bila mereka tidak berasal dari kampus- kampus terkemuka, atau tidak memiliki kualitas akademik yang tinggi. Dengan demikian, mereka tidak tertampung di perusahaan-perusahaan besar dan rela dibayar “ABOUT MARKET AVAREGE” dan menjadi sasaran UMKM. Singkatnya, “TALENT WAR” TIDAK DAPAT DIHINDARI.
Hal lainnya yang perlu dilakukan adalah perbaikan kualitas internal pada BUDAYA ORGANISASI (KORPORAT). Mengubah budaya sama maknanya seperti mengubah DNA. Mengubah dari DNA yang tertidur, pasif, dan comfort, menjadi DNA yang penuh gairah,aktif,berorientasi pada kreativitas dan produktivitas. Dalam banyak kasus, seringkali masalah yang dihadapi bukanlah “HARD COMPETENCE”, dalam bentuk pengetahuan, melainkan pada “ATTITUDE” dan “CARA BERPIKIR” dalam menghadapi dunia baru. Dan oleh karena itu, seperti kata Rhenald Kasali, celakalah training manager yang beranggapan ini dan itu sudah diberikan, sebab masalahnya bukan itu, melainkan bagaimana semua itu ditambatkan dalam diri manusia.

MEMBAIK = MAKIN SULIT
Suatu hal yang perlu diingat para eksekutif dan pemimpin bisnis bahwa membaiknya perekonomian bukanlah identik dengan makin mudah. Proyek akan makin banyak,tetapi yang memperebutkannya juga lebih banyak lagi. Pesanan akan jauh lebih besar, tetapi keagenan akan dibagi-bagi ke berbagai tangan. Demikian pula saat untung meningkat,tuntutan untuk berbagi menjadi lebih besar. Perusahaan semakin besar,namun penggajian tidak dapat dilakukan sekadar menggaji. Demikian pula dengan harga komoditas membaik, biaya-biaya yang dikeluarkan akan lebih besar.
Semoga bermanfaat
TETAPLAH ADAPTIF DALAM MENGHADAPI DUNIA BARU YANG TERUS BERUBAH.



Fredo Hasugian, S.E, Ak, M.Si

Selasa, 23 Maret 2010

BAILOUT CENTURY MENYELAMATKAN EKONOMI INDONESIA..?

Dari pandangan akhir fraksi-fraksi dalam Pansus Bank Century, mayoritas menyatakan bailout Bank Century merupakan kebijakan yang melanggar UU dan kasus tersebut perlu dibawa ke ranah hukum. Tetapi pihak Pemerintah dan Partai Demokrat ngotot ingin agar kesimpulan kasus bailout Bank Century sama seperti pandangan akhir fraksi Demokrat.
Para pembela bailout Bank Century seperti Sri Mulyani, Boediono, anggota Pansus Demokrat (khususnya Ruhut Sitompul), Sutan Batoegana, Amir Syamsuddin, Deny Indrayana, Chatib Bisri, Ihsan Fauzi, Christianto Wibisono, dll. rata-rata memakai argumentasi yang sama. Mereka mengklaim, bailout Bank Century merupakan tindakan yang tepat untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi November 2008. Kalau tidak dilakukan bailout bisa terjadi KERUSAKAN SISTEMIK pada sistem perbankan nasional. Lebih jauh mereka mengklaim, bahwa kondisi ekonomi saat ini yang relatif aman dan terkendali, merupakan bukti keberhasilan dari kebijakan bailout Bank Century. Lagi pula, masih kata mereka, BAILOUT CENTURY TIDAK MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA SEDIKIT PUN, MALAH MENGUNTUNGKAN.

Menurut saya, bailout Bank Century dan dampak sistemiknya terhadap sistem perrbankan Indonesia bersifat “DEBATABLE”. Penentang bailout Century telah panjang-lebar mengemukakan argumen mereka; sedang pembela bailout panjang-lebar mengemukakan argumen mereka. Alasan yang agak rancu menurut saya disampaikan oleh Chatib Bisri di depan forum sidang Pansus. Dia menuduh para penentang bailout Century sebagai “pro Neolib” karena menentang kebijakan negara menyelamatkan Bank Century. Kenapa saya katakan agak rancu, karena Century merupakan bank swasta, yang jumlah nasabahnya kecil, rusak dan kemungkinan bisa saja dirusak oleh pemiliknya sendiri, tapi kenapa pemerintah yang harus ikut campur menyelamatkan bank kecil semacam itu, yang toh kalau bangkrut dampaknya juga tidak terlalu signifikan. TETAPI KALAU PAKET SUBSIDI UNTUK RAKYAT KECIL, NEGARA DIMINTA UNTUK “CUCI TANGAN” AGAR TIDAK MEMBEBANI ANGGARAN, BARULAH BOLEH DIKATAKAN MODEL PEMIKIRAN “NEOLIB”.

KEBOHONGAN SISTEMIK.
Sebenarnya, kalau kita melihat situasi ekonomi pada 3 tahun terakhir, termasuk ketika terjadi krisis keuangan global tahun 2008-2009, kita akan melihat bahwa klaim para pendukung bailout Bank Century itu mengada-ada. Mereka mendramatisasi sesuatu yang sebenarnya tidak serius dampaknya.
Mari kita buka kembali analisis kritis tentang koneksi antara bailout Bank Century dengan posisi Indonesia di tengah krisis keungan global.

[1] Kita harus sangat paham, bahwa posisi Bank Century dalam ranah perbankan nasional sangat kecil, hanya 0,5 % aset perbankan nasional. Bank ini mau diutak-atik seperti apapun, tidak akan bisa mengguncang sistem perbankan nasional. Kalau mau dipaksakan, bank 0,5 % bisa mengacaukan sistem perbankan nasional, itu berarti kontruksi sistem perbankan Indonesia amat sangat rapuh. Guncangan sekecil apapun bisa merusak bangunan sistem perbankan secara keseluruhan. Para pembela bailout harus menjawab pertanyaan ini, “Apakah sistem perbankan di Indonesia memang sangat rapuh?” Kalau mereka menjawab ya, para nasabah bank di seluruh Indonesia baru boleh merasa cemas. Jika struktur perbankan diklaim sangat rapuh, klaim seperti ini justru yang bisa merusak sistem perbankan. Lagi pula, jika konstruksi perbankan Indonesia memang rapuh, lalu apa saja kerja Bank Indonesia?
[2] Ada dua kasus penutupan bank yang layak menjadi perbandingan. Pertama, penutupan Bank IFI tahun 2009. Jika Century diselamatkan, mengapa IFI dibiarkan sehingga mati? Kedua, penutupan Bank Indover. Alasan yang dipakai oleh Pemerintah untuk menutup Indover juga alasan “dampak sistemik”. Ternyata, setelah ditutup tidak terjadi masalah apa-apa. Kedua kasus ini merupakan contoh praktis, bahwa bailout Bank Century tidak bersifat fair.

[3] Katanya, bailout Bank Century dilakukan, demi menyelamatkan sistem perbankan nasional dari kehancuran akibat krisis global. Artinya, kebijakan bailout itu ditujukan demi kebaikan sistem ekonomi nasional. Jika demikian, mengapa sebelum melakukan bailout Bank Century, pihak Bank Indonesia, KSSK, Menteri Keuangan, LPS, dll. tidak konsultasi dulu dengan DPR? Padahal ketika akan menutup Indover, mereka melakukan konsultasi ke DPR. Andaikan masalah Century dampaknya hanya bagi bank itu sendiri, tidak masalah tanpa konsultasi. Tetapi jika dampaknya dianggap mengancam perekonomian nasional, jelas harus konsultasi. Untuk apa di DPR ada komisi tentang perekonomian, jika tidak dimanfaatkan? Disini tampak jelas ketidak-jujuran Sri Mulyani dkk. Mereka mengklaim menerapkan kebijakan demi ekonomi negara, tetapi tidak melibatkan DPR.

[4] Bailout Bank Century jelas merugikan uang negara. Dana LPS Rp. 6,7 triliun dikucurkan ke manajemen Bank Century yang sekarang menjadi Bank Mutiara itu. Kerugian ini bisa terjadi karena beberapa alasan: (i) LPS mengeluarkan uang negara 6,7 triliun, padahal uang sebesar itu bisa dipakai untuk tujuan-tujuan lain yang lebih bermanfaat. Sekurangnya, dana itu tetap berada di LPS sebagai dana cadangan untuk fungsi-fungsi insitusional LPS sendiri; (ii) Adanya kebocoran-kebocoran dalam pengelolaan dana 6,7 triliun, karena adanya transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan tujuan awal bailout itu sendiri; (iii) Dalam sistem keuangan modern, dianggap sebagai kerugian, ketika suatu dana dipakai dalam kurun waktu tertentu dengan tidak menghasilkan manfaat (benefit) apapun.

Misalnya, Bank Mutiara dimodali 6,7 triliun. Setelah beberapa tahun bank itu dijual ke investor dengan harga sama. Bahkan merupakan kecelakaan manajemen, jika ia dijual ke investor dengan harga lebih rendah dari 6,7 triliun. Logikanya, dana 6,7 triliun jika ditanamkan untuk suatu proyek investasi yang menguntungkan, akan mendatangkan keuntungan besar. Sementara jika ditanamkan di Bank Mutiara, sifatnya hanya “kerja bakti” selama bertahun-tahun. Tanya ke Sri Mulyani dkk., apakah mereka mengenal istilah “kerja bakti” keuangan?

[5] Para pembela bailout Bank Century selalu mengatakan, jika Bank Century tidak diambil-alih oleh LPS, tetap saja Pemerintah harus memberikan dana talangan kepada para nasabah Bank Century yang memiliki simpanan 2 milliar ke bawah. Kalau ditotal, talangan itu bisa mencapai 4 triliun rupiah. Tetapi masalahnya, para nasabah bank berhak mendapat dana talangan, jika kondisinya memenuhi syarat. Misalnya, kerusakan di Bank Century terjadi bukan karena kejahatan perbankan yang dilakukan oleh para pemiliknya. Jika setiap nasabah bank otomatis mendapat talangan, dalam kondisi apapun, maka instumen talangan dalam sistem perbankan bisa membuat bank-bank di Indonesia dijarah sesuka hati oleh para bandit-bandit perbankan. Dalam kasus Bank Century, sebelum LPS menjamin uang para nasabah, bank itu jelas harus diawasi secara ketat, agar tidak terjadi kejahatan perbankan. Dan Bank Indonesia pun sudah memasukkan Bank Century dalam regulasi pengawasan khusus. Lalu apa artinya “pengawasan khusus” itu sehingga Bank Century collapse, lalu negara disuruh menalanginya memakai uang LPS? Bank Indonesia serius mengawasi, atau hanya main-main saja, sambil buka-buka facebook? Kesalahan Bank Indonesia dalam mengawasi Bank Century jelas-jelas merupakan pelanggaran UU.

[6] Kebijakan bailout Bank Century kurang tepat. Mengapa? Sebab sejak semula Bank Century itu sendiri sudah banyak masalah. Bahkan ia MASUK PENGAWASAN KHUSUS BANK INDONESIA. Di tubuh Bank Century terjadi kejahatan-kejahatan perbankan oleh pejabat atau pemilik bank tersebut. Sri Mulyani mengakui hal itu dalam konferensi pers pasca pandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus. Robert Tantular sendiri diproses di pengadilan dan diganjar hukuman 5 tahun. Seyogyanya NEGARA MENOLONG BANK-BANK LAIN YANG BERMASALAH, TETAPI TIDAK TERJERUMUS KEJAHATAN PERBANKAN. Apalagi katanya, Bank Indonesia mengidentifikasi ada 23 bank yang berpotensi bermasalah. Seharusnya dana talangan diarahkan untuk membantu bank-bank tersebut. Atau jika tidak, negara lebih memprioritaskan membantu perusahaan-perusahaan atau usaha UKM yang terancam kolaps akibat krisis keuangan global. Ibaratnya, “MEMBERI MODAL KEPADA SARJANA YANG MENGANGGUR, LEBIH BAIK DARIPADA MEMBERI MODAL KEPADA PREMAN YANG TERKENAL KEJAHATANNYA. Pejabat-pejabat yang terlibat dalam bailout Bank Century bisa dianggap sebagai orang-orang sembrono yang menyerahkan uang negara kepada pihak-pihak yang seharusnya tidak perlu ditolong.

[7] BAILOUT BUKANLAH SATU-SATUNYA SOLUSI YANG BISA DITEMPUH. Jika Bank Century hancur karena dirampok pemiliknya sendiri (meminjam istilah JK), sehingga bank itu nyaris hancur. Sudah saja, ia dinyatakan bangkrut (pailit). Lalu negara melelang aset-aset bank itu, lalu hasilnya dikembalikan kepada para nasabah Bank Century. Ini adalah cara yang lebih ringan resikonya, daripada Pemerintah mengambil-alih pengelolaan bank itu melalui LPS. Atau jika tidak, biarlah Bank Century dijual kepada investor yang mau membeli, baik kalangan lokal atau asing. Tentu dijual sekaligus dengan beban hutang-hutangnya kepada nasabah. Jadi pihak yang diharapkan memberikan dana talangan adalah investor, bukan LPS. Atau penyelesaian Bank Century sepenuhnya dibawa ke ranah hukum. Bank itu dinyatakan pailit karena tindak kriminal pemiliknya. Lalu kepolisian menetapkan pelaku-pelaku kejahatan sebagai DPO, kemudian bekerjasama dengan Interpol untuk menyita aset-aset bank yang dilarikan ke luar negeri. Cara demikian meskipun harus berproses, tetapi lebih memberikan kepastian hukum, baik kepada nasabah Century maupun nasabah bank-bank lain. Daripada memaksakan diri mengurus Bank Mutiara selama bertahun-tahun, lalu dijual lagi ke investor.

[8] Bailout Bank Century seharusnya tidak dilakukan, dengan pertimbangan, bangsa Indonesia pernah memiliki sejarah kelam tragedi bailout yang kita kenal sebaga Mega Skandal BLBI itu. Setelah Tragedi BLBI yang merugikan negara sampai 500-600 triliun itu, seharusnya kejadian serupa tidak terulang lagi. Kalau masyarakat biasa saja masih ingat skandal BLBI, masak ahli keuangan seperti Sri Mulyani, Boediono, dkk. tidak ingat?

[9] Sebenarnya, kasus bailout Bank Century tidak ada kaitannya dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 2008 lalu. Kasus Century sudah muncul jauh-jauh hari sebelum terjadi krisis ekonomi. Begitu pula, selesai atau tidaknya kemelut di Bank Cetury, tidak memiliki dampak bagi perekonomian nasional. HARUS DIINGAT DENGAN BAIK, MASALAH CENTURY BUKANLAH URUSAN YANG MENYANGKUT HAJAT HIDUP ORANG BANYAK. Ya, karena bank itu kecil dan nasabahnya tidak banyak. Sebagai perbandingan, ketika Pemerintah SBY menaikkan harga BBM sampai ke level 100 % tahun 2005, kebijakan itu benar-benar sabgat memberatkan masyarakat luas. Bahkan mengancam sektor riil. Ini baru contoh kebijakan yang memiliki dampak sistemik bagi perekonomian nasional. Adapun, mati-hidupnya Bank Century, masyarakat tidak terlalu peduli. BAHKAN, SEBELUM ADA KASUS BANK CENTURY, BANYAK MASYARAKAT TIDAK TAHU ( termasuk saya ) KALAU DI INDONESIA ITU ADA BANK YANG NAMANYA “BANK CENTURY”. Tetapi kalau misalnya ada kondisi sehingga BNI, BRI, Bank Mandiri, BCA, Danamon, Bank Muamalat, dkk. mengalami guncangan kolektif, kita layak khawatir, sebab posisi bank-bank ini sangat kuat di Indonesia.

[10] DALAM TEORI EKONOMI DIKATAKAN BAHWA, PENENTU STABIL-TIDAKNYA EKONOMI SUATU BANGSA DITENTUKAN OLEH BANYAK FAKTOR. Misalnya hasil produksi pangan, volume perdagangan, ekspor-impor, produksi manufaktur, nilai tukar rupiah, kestabilan cuaca, kestabilan kondisi politik, kualitas penegakan hukum, kualitas clean government, jumlah pasokan energi, kondisi infrastruktur bisnis, dan lain-lain. Adapun sistem perbankan hanya merupakan salah satu faktor penentu. Sistem perbankan bukan satu-satunya faktor kestabilan ekonomi nasional. Jika sistem perbankan hanya merupakan satu faktor, lalu dimana posisi Bank Century? Bank Century hanyalah satu unit perbankan nasional yang nilainya hanya 0,5 %. Bank ini tidak mungkin akan berpengaruh secara sistemik kepada perekonomian nasional. Sungguh, alasan dampak sistemik itu hanyalah kilah yang sangat dicari-cari. [Coba tanyakan kepada para pendukung bailout, “Apakah sistem perbankan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam sistem perekonomian di Indonesia?” Ingat, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang belum mengakses layanan bank].

[11] Indonesia selamat dari terpaan krisis global 2008-2009 bersama India dan China. Faktor-faktor apa yang membuat bangsa Indonesia selamat? Apakah karena kebijakan bailout Bank Century? Kita harus sadar, baik Indonesia, India, dan China, ketiganya memiliki kemiripan kondisi. Ketiga negara ini sama-sama negara dengan jumlah penduduk besar. BASIS PEREKONOMIAN KETIGANYA ADALAH SEKTOR RIIL, bukan sektor finansial seperti di Amerika. Di 3 negara ini banyak bahan baku, produksi pangan lancar, upah buruh murah, dan sebagainya. Jadi, sangat tidak mungkin bailout Bank Century dikait-kaitkan dengan keselamatan ekonomi Indonesia dari terpaan krisis keuangan global. BANK CENTURY ITU TERLALU KECIL DALAM KONSTRUKSI MAKRO PEREKONOMIAN INDONESIA.

[12] Pertanyaan menarik, “Mengapa terjadi krisis global, sehingga dampaknya merembet ke Indonesia?” Hal ini harus dijawab secara jujur. Krisis global terjadi karena krisis keuangan di Amerika. Itu terjadi karena perbankan di Amerika nyaris ambruk karena banyak dana bank macet di kredit-kredit perumahan (“SUBPRIME MORTGAGE”). Ketika bank-bank Amerika terguncang, nilai tukar dollar merosot tajam. Imbasnya, kurs rupiah ikut merosot, karena selama ini bangsa kita menganut “SISTEM MONETER TERBUKA”. Dollar Amerika rusak, rupiah ikut-ikutan rusak, meskipun tidak separah di Amerika. Kalau nilai tukar dollar membaik, otomatis nilai rupiah membaik juga. KATA KUNCINYA ADALAH NILAI TUKAR DOOLAR AMERIKA. Untuk menyelamatkan ekonominya, Pemerintah Amerika melakukan bailout senilai US$ 700 miliar (setara dengan 7000 triliun). Dengan kebijakan bailout ini, meskipun sangat menyalahi prinsip Kapitalisme Amerika, posisi dollar membaik kembali. Jadi bailout US$ 700 milliar inilah yang menyelamatkan ekonomi Amerika, lalu menyelamatkan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Jadi, adalah sangat tidak masukm akal kalau kestabilan ekonomi Indonesia tercapai karena Sri Mulyani Cs menerapkan bailout Bank Century. [ANDAIKAN NILAI TUKAR DOLLAR AMERIKA TERUS MEMBURUK, BIARPUN PEMERINTAH RI (SRI MULAYANI CS), MENERAPKAN KEBIJAKAN BAILOUT KEPADA 100 BANK ATAU BAHKAN KALAU PERLU SEMUA BANK DI INDONESIA, BELUM TENTU BISA MENYELAMATKAN EKONOMI NASIONAL. KARENA, SEPERTI YANG TELAH SAYA KATAKAN DI ATAS, BAHWA SELAMA INI KITA MENGANUT SISTEM MATA UANG TERBUKA ATAU “FLOATING RATE”].

[13] Perlu diingat juga, krisis yang menimpa Amerika tahun 2008-2009 membuat bangsa itu memborong minyak bumi dalam jumlah besar, untuk menjamin pasokan energi Amerika. Hal ini memicu melesatnya harga minyak dunia sampai ke level US$ 150 per barrel. Tetapi setelah Amerika terserang krisis keuangan akibat subprime mortgage, industri dan dunia usaha di Amerika pada ambruk. Konsekuensinya, mereka sangat mengurangi belanja minyak bumi. Akibatnya, harga minyak dunia turun drastis, sampai ke level US$ 40 per barrel. Naik dan turunnya harga minyak dunia sangat mempengaruhi harga BBM di Indonesia. Kalau harga naik, sebagai eksportir minyak kita mendapat untung (sampai disebut ‘WIN FALL”). Kalau harga turun, sebagai importer minyak, kita merasa lega, karena harga murah. FLUKTUASI HARGA MINYAK DUNIA SANGAT BESAR PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI INDONESIA. Adapun kebijakan bailout Century sangat jauh dari itu. Bank Century hidup, masyarakat tidak merasakan manfaatnya; Bank Century mati, masyarakat juga tidak terlalu kehilangan. Ada dan tidaknya Bank Century, tidak berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak.

[14] Sri Mulyani beralasan, bailout Bank Century jangan dilihat dari ukuran bank itu, tetapi lihat pada efek transmisi kepanikan yang bisa membuat seluruh nasabah bank nasional menarik dananya dari perbankan nasional.
KRITIK SAYA ATAS TEORI INI : (a) Kalau titik-tolaknya adalah kepanikan sosial, berarti kita bicara masalah PSIKOLOGI MASYARAKAT. Jika demikian, berarti solusi atas kepanikan itu adalah LANGKAH PENERANGAN PUBLIK YANG EFEKTIF, MASSIF, DAN MENENTRAMKAN HATI. Jadi, SOLUSINYA ADALAH TINDAKAN “HUMAS” YANG CANGGIH. Toh, selama ini tindakan humas itu sangat sering dilakukan Pemerintah, terutama MENCERITAKAN KEBERHASILAN-KEBERHASILAN DEPARTEMEN-DEPARTEMEN MENJELANG PEMILU BERLANGSUNG. Solusi humas itu amat sangat murah dibandingkan kebijakan bailout;
(b) KEPANIKAN BIASANYA ADALAH GEJALA YANG BERJALAN SESAAT, TIDAK TERUS MENERUS. Jika demikian, seharusnya tindakan penyelamatan terhadap Bank Century juga dilakukan SECARA TEMPORER. Tetapi realitasnya, sampai tahun 2009, dana LPS terus dikucurkan ke Bank Century, sehingga total bailout mencapai 6,7 triliun;
(c) Andaikan Pemerintah sangat peduli dengan “kepanikan public”, seharusnya mereka menyelesaikan terlebih dulu kepanikan para nasabah Bank Century. Tetapi nyatanya, sampai saat ini masih banyak nasabah Bank Century yang dizhalimi oleh manajemen Bank Mutiara. Hal itu terbuka dalam rapat Pansus DPR bersama para nasabah Bank Century. Jadi, alasan Sri Mulyani itu hanyalah kilah yang dicari-cari saja. Seperti bunyi sebuah pernyataan, “JIKA BU MENTERI TIDAK PINTAR MEMBUAT KILAH BUAT APA DIA DIANGKAT JADI MENTERI..?”
Kesimpulan awal saya adalah bahwa, kebijakan bailout Bank Century sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyelamatan ekonomi nasional. Dari sisi manapun, hampir tidak ada korelasi antara bailout Bank Century dengan kestabilan ekonomi nasional. DENGAN ATAU TANPA BANK CENTURY, JIKA KURS DOLLAR AMERIKA DAN HARGA MINYAK DUNIA TERUS GONJANG GANJING, MAKA PEREKONOMIAN INDONESIA PUN AKAN IKUT GONJANG GANJING.

Kasus Bank Century muncul di tengah problema krisis ekonomi nasional, akibat krisis global. Lalu para pejabat negara menjadikan krisis global sebagai alasan untuk mengucurkan dana 6,7 triliun ke Bank Century. Ini adalah bentuk kesalahan kebijakan, ketidak-jujuran dalam mengambil kebijakan, menolong manajemen bank yang pengelolanya berlaku kriminal, serta menjerumuskan uang negara dalam pusaran bisnis bank yang gambling (tidak menentu).

Boediono dan Sri Mulyani adalah pejabat tinggi negara dalam urusan ekonomi dan keuangan. Mereka sangat bertanggung-jawab di balik bailout Bank Century. Secara ekonomi teoritik dan pengalaman birokrasi, mereka mumpuni. Tetapi dalam kasus Bank Century, mereka sangat ceroboh. Kebijakan yang dibuat oleh Sri Mulyani dan Boediono, mungkin secara teori aliran Neolib sudah sejalan. Akan tetapi tidak semua teori yang beliau pelajari bisa diterapkan di negara ini. Karena Amerika dan Australia bukanlah Indonesia. Saya ingin mengutip perkataan ekonom idola saya Kwik Kian Gie yang mengatakan “ Kalau saya, saya akan lebih memilih yang Realistis”.

Selasa, 19 Januari 2010

Pak Marsillam Simanjuntak

Diantara pejabat yang ada di lingkar dalam SBY, UKP3R yang dibentuk melalui keputusan presiden nomor 17 tahun 2006 adalah yang paling misterius, dalam arti jarang bisa dijamah. Yang mana Pak Marsillam Simanjuntak yang saya hormati, orang yang irit bicara merupakan ketua UKP3R dan dibantu oleh dua orang lagi yaitu agus widjojo dan edwin gerungan sebagai deputi.
Misteri UKP3R itu yang mungkin dicium Yusuf Kalla dan politisi golkar yang kencang menentang pembentukannya. Anda pasti masih ingat, hampir satu bulan, polemik UKP3R tidak reda. Untuk meredamnya, SBY sampai harus memanggil Yusuf Kalla ke ruang kerjanya. Hanya berdua, tanpa siapa-siapa. Andi mallarangeng yang pada saat itu masih menjabat sebagai Menpora, yang memberi keterangan seolah-olah tahu pun tidak tahu persis apa isinya.
Usai pertemuan empat mata di hari jumat itu, SBY minta mobil golf disiapkan untuknya. Dari kantor presiden, SBY mengemudikan mobil golf menuju masjid di sisi barat istana merdeka untuk shalat jumat sedangkan Yusuf kalla duduk di sisi kiri SBY. Usai pertemuan empat mata itu, tentangan untuk UKP3R mereda meskipun tidak hilang juga. Untuk menghentikannya, SBY tampil ke muka membela. Di podium garuda yang khusus dibuat untuknya, SBY angkat bicara. Posisi UKP3R dijelaskannya. konsitusi yang kerap ada di saku kemeja dipegangnya. Untuk pembela pak Marsillam, SBY merujuk pasal 4 uud 1945 yang menyatakan, “presiden republik indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”.
SBY kemudian mengatakan, pembentukan UKP3R adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan kepada rakyat. lima tugas UKP3R adalah perbaikan iklim usaha/investasi dan sistem pendukungnya; pelaksanaan reformasi administrasi pemerintahan; peningkatan kinerja BUMN; perluasan peranan usaha kecil menegah; dan perbaikan penegakan hukum. Dalam jumpa pers pembelaan sepanjang 25 menit dan disiarkan langsung oleh metrotv dan tvri itu, SBY menyebut empat tidak ukp3r. pertama, tidak mengambil keputusan dan tidak menetapkan
kebijakan pemerintah. kedua, tidak memberikan instruksi dan arahan kepada menteri dan anggota kabinet. ketiga, tidak melakukan tindakan investigasi atau pemeriksaan atas hal yang berkaitan dengan masalah hukum seperti korupsi. keempat, bukan “pos politik” dan pejabatnya tidak dalam kategori political appointee seperti menteri, tetapi adalah “pos manajemen” yang jadi perangkat presiden selaku pemimpin eksekutif tertinggi.
Tentangan kemudian mereda. UKP3R berjalan sebagaimana rencana. Pak Marsillam yang dibela tetap misterius di mata saya. meskipun sudah di atas angin posisinya, pak Marsillam tetap tidak angkat bicara. Dalam senyap, pak Marsillam bekerja dengan tangung jawab langsung kepada SBY yang mengangkat dan memintanya bekerja. Sampai akhirnya, akhir oktober 2008, Pak Marsillam muncul lagi di istana karena dipanggil SBY lantaran krisis keuangan global dan memanasnya suhu politik menjelang pemilu legislatif dan pilpres 2009. Yang dipanggil oleh SBY memang bukan hanya pak Marsillam memang, tetapi ada juga dewan pertimbangan presiden dan anggota staf khususnya. saat pertemuan, SBY didampingi sekretaris kabinet pak sudi silalahi. Pertemuan digelar bersamaan dengan pembacaan vonis lima tahun hukuman untuk mantan gubernur bank indonesia pak burhanuddin abdullah yang diikuti penetapan mantan deputi gubernur bank indoneisa pak aulia pohan sebagai tersangka oleh kpk. ”anda tahu kan pak aulia yang saat ini ditahan di kelapa dua?”
Dalam pertemuan itu, SBY menyampaikan arahan terkait langkah pemerintah menghadapi dampak krisis keuangan global. tak lama kemudian, awal dari kisruh, kemelut, atau skandal bank century dimulai. itu ingatan saya terakhir dengan pak Marsillam. Sementara ingatan awal saya tentang pak Marsillam adalah saat pertama kali SBY menyampaikan keinginannya membentuk UKP3R yang kemudian diketuainya. Keinginan SBY itu disampaikan usai rapat oleh pak boediono yang ketika itu masih menjabat sebagai menteri koordinator bidang perekonomian. Selain pak boediono, dalam rapat di kantor presiden itu hadir menteri keuangan Sri Mulyani, dan pak Marsillam tentu saja. Menurut pak boediono ketika itu, UKP3R dibentuk sebagai alat langsung SBY untuk memperkuat lembaga kepresidenan. UKP3R berisi satu tim profesional untuk memberi masukan kepada SBY.
Saya kutipkan apa yang pernah diujarkan pak boediono saat pertama kali bertemu pak SBY dan pak Marsillam di istana, “ini adalah alat presiden yang lebih membumi dan menjangkau di lapangan, termasuk apa yang dirasakan dunia usaha. masukannya kepada presiden akan menjadi bahan arahan kepada para menteri.” ketika saat itu ditanya apakah UKP3R akan diketuai pak Marsillam, pak boediono mengaku tidak bisa memberi keterangan sekarang. Namun, sesaat sebelum rapat dimulai, akhir mei 2006 lalu, SBY saat bertatapan dengan pak Marsillam menyapa dan menyambutnya dengan hangat, “welcome back pak Marsillam.”
Terkait dengan apa yang terjadi sekarang termasuk misteri kehadiran pak Marsillam dalam rapat penetuan kebijakan yang saat ini dipansuskan, SAYA BERHARAP PEMBELAAN KEPADA PAK MARSILLAM SIMANJUNTAK TETAP DIBERIKAN, BUKAN OLEH SRI MULYANI ATAU BOEDIONO, TETAPI OLEH SBY YANG SELAMA INI TELAH KONSISTEN MEMBELA BAHKAN DENGAN SEGALA PIJAKAN KONSTITUSI.

Selasa, 12 Januari 2010

GAMBARAN ”FRAUD” DAN KEKALUTAN DALAM MENGHADAPI BANK CENTURY

Yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan, pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran dan pertanyaan.

DENGAN TIDAK ADANYA BLANKET GUARANTEE DI INDONESIA, TETAPI JAMINAN MAKSIMUM Rp. 2 MILYAR SAJA PER ACCOUNT, MENARUH UANG DALAM JUMLAH BESAR, TERUTAMA DI BANK KECIL SANGAT LAH BERBAHAYA. Tetapi Bank Century (Century) yang begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh beberapa deposan besar. MENGAPA BERANI MENEMPATKAN UANGNYA DALAM JUMLAH YANG SANGAT BESAR PADA BANK YANG DEMIKIAN KECILNYA..? Karena ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktek bisnis yang wajar atau karena ada motif politik tertentu, dan karena itu merasa pasti aman, karena DEPOSAN MEMPUNYAI HUBUNGAN KHUSUS DENGAN PENGUASA DI NEGERI INI (simak semua pemberitaan di media massa).
Dugaan mereka ternyata benar. CENTURY RUSAK KARENA UANG SIMPANAN PARA DEPOSAN DICURI/ DIGELAPKAN OLEH PARA PEMEGANG SAHAMNYA SENDIRI. Century disuntik oleh LPS empat kali sampai jumlah seluruhnya mencapai Rp. 6,76 trilyun. Dari jumlah ini Rp. 3,8 trilyun dipakai untuk menutupi penarikan oleh deposan besar (Suara Pembaruan 31 Agustus 2009). Jakarta Post tanggal 2 September 2009 mengutip Budi Armanto, Direktur BI untuk Pengawasan Bank yang mengatakan bahwa : “Rp. 5,7 trilyun dari Rp. 9,63 trilyun ditarik dari Century antara November dan Desember 2009.”
BUKANKAH INI MERUPAKAN SATU BUKTI BAHWA PENYUNTIKAN DANA KEPADA CENTURY BUKANLAH SATU UPAYA UNTUK MENGHINDARI KERUSAKAN PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN YANG SUDAH ”SISTEMATIK”, TETAPI HANYA MERUPAKAN SATU UPAYA UNTUK ”MENELIKUNG” PERATURAN JAMINAN MAKSIMUM SEBESAR Rp. 2 MILYAR SAJA PER ACCOUNT, SUPAYA DEPOSAN BESAR BISA MENARIK DEPOSITONYA DALAM JUMLAH BESAR SETELAH CENTURY RUSAK DAN SETELAH DISUNTUIK DENGAN DANA BESAR..?

BAGAIMANA SEHARUSNYA

Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan perbankan dan perekonomian nasional dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bisa sebagai berikut :
(1) Semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya. (
2) Semua tagihan lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp. 2 milyar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(3) Bank Century dilikuidasi.

KEJANGGALAN DALAM KEWENANGAN PIMPINAN SANGAT TINGGI

Pada satu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK) yang dalam kasus Century ini berfungsi sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada tanggal 25 November 2008 dilapori oleh Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan merangkap Menko Perekonomian Sri Mulyani tentang penyuntikan dana empat kali dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 6,7 trilyun. Penyuntikan terakhir sudah dilakukan pada hari Minggu tanggal 23 November 2008. Dari pembicaraan itu Presiden a.i. Jusuf Kalla (JK) langsung menyimpulkan rusaknya Century karena perampokan uang yang ada di Century oleh para pemegang sahamnya sendiri.
Maka JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu salah kaprah. JK minta Boediono melaporkan kepada Polri dan menangkap pimpinan Century. Boediono menolak dengan alasan tidak mempunyai landasan hukum untuk itu. Sebagai Presiden a.i. dia memerintahkan Polri untuk menangkap pimpinan Century dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata baik Polri maupun Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di Pengadilan. Perkaranya sedang berlangsung dengan Jaksa yang menuntut hukuman penjara 8 tahun dan denda Rp. 50 milyar pada Robert Tantular.
APA ARTINYA PENJELASAN DI ATAS..?
BOEDIONO YANG GUBERNUR BI DAN WAPRES TERPILIH MENGANGGAP TIDAK ADA PELANGGARAN HUKUM DALAM KASUS CENTURY, TETAPI JUSUF KALLA, POLRI, DAN KEJAKSAAN MENGGANGGAP ADA PELANGGRAN HUKUM DI SANA. BAGAIMANA BOEDIONO MEMPERTANGGUNGJAWABKAN INI..?
Bolehkah Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen? Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankah kewenangan JK pada tanggal 25 November 2008 sebagai Presiden sepenuhnya karena SBY ada di luar negeri?
Yang saya tanyakan tadi aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan. Tetapi secara moral, patutkah Wapres terpilihnya SBY menolak perintah Presiden a.i. yang memang Presiden ketika itu dan sampai tanggal 20 Oktober 2009 masih Wapresnya SBY?

BANK BEKERJA PADA HARI MINGGU..?

Penyuntikan terakhir dilakukan pada hari MINGGU TANGGAL 23 NOVEMBER 2008. Bagaimana prosesnya secara teknik perbankan ? APAKAH DEMIKIAN MENDESAKNYA KALAU MOTIFNYA PENYELAMATAN PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN NASIONAL..? ATAUKAH URGENSINYA HANYA KARENA DEPOSAN BESAR HARUS BISA MENARIK SECEPATNYA UANGNYA YANG TIDAK DIBATASI Rp. 2 MILYAR PER ACCOUNT SAJA..?

MENGAPA BURHANUDDIN ABDULLAH DIPENJARAN..?

Burhannudin Abdullah ditangkap, diadili dan divonis 6 tahun penjara yang sedang dijalaninya. Apa sebabnya? Karena dia selaku Gubernur Bank Indonesia membubuhkan tanda tangannya untuk pengeluaran dana sebesar Rp. 100 milyar yang dianggap koruptif. SATU RUPIAH PUN TIDAK ADA DINIKMATINYA. MAKA PALING-PALING DIA DIANGGAP GEGABAH, BODOH ATAU SOLIDER YANG KEBABLASAN.
Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau finansial, begitu banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century sebesar Rp. 7,627 trilyun itu tidak apa-apa kalau diacu dengan apa yang dialami oleh Burhannudin Abdullah dan kawan-kawannya ?

NEGARA TIDAK DIRUGIKAN..?

Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena tidak berasal dari alokasi APBN. BUKANKAH UANG SEBESAR Rp. 100 MILYAR YANG DIJADIKAN LANDASAN PENGHUKUMAN BURHANUDDIN ABDULLAH DAN KAWAN-KAWANNYA JUGA TIDAK DARI APBN..?
BAHKAN SUDAH DIPISAHKAN DARI BI UNTUK DIMASUKKAN KE DALAM SEBUAH YAYASAN..? Kok dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah tidak bisa dianalogkan dengan lenyapnya uang LPS melalui Bank Century, sehingga yang bersangkutan juga harus dihukum?

HURUF- HURUF HARFIAH VERSUS SUBSTANSI

Sri Mulyani berpendapat tidak peduli apa sebab kerusakan sebuah bank, kalau sudah “sistemik” harus disuntik dana secukupnya. (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya bisa mendapatkan kembali uangnya seutuhnya yang sudah dicuri oleh pemegang saham Century).
Dradjat Wibowo berpendapat bahwa bank yang kolaps karena dikelola secara sembrono, yang dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alasan apapun.
Ginanjar Kartasismita, mantan Menko EKUIN menyesalkan : “lembaga negara yang harusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan malah saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut penyelematan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teknis, tetapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan aset negara.” (Rakyat Merdeka, 2 September 2009).
MANA YANG RELEVAN BUAT NEGARA..? MAIN ”PROKOL” DENGAN TAFSIRAN HARAFIAH SEMATA ATAUKAH MENAFSURKAN SEGALA SESUATUNYA BERDASARKAN SUBSTANSI DAN FAKTA...?

GAGASAN BLANKET GUARANTEE DITOLAK

Sebelum kerusakan Century ada gagasan supaya pemerintah memberikan blanket guarantee kepada semua deposan di Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank di Indonesia karena perbankan di seluruh dunia sedang terguncang oleh krisis keuangan maha dahsyat di Amerika Serikat. Yang mengusulkan Boediono dan Sri Mulyani. JK menentang sangat keras. Akhirnya terjadi kompromi penjaminan hanya sebatas Rp. 2 milyar per account.

PENELIKUNGANNYA

Buat para deposan besar di Century, BATASASN PENJAMIN SEBESAR Rp. 2 MILYAR PER ACCOUNT DITELIKUNG DENGAN CARA SEPERTI YANG TELAH DIURAIKAN DI ATAS.
Landasan hukumnya PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) NOMOR 4 TAHUN 2008. TETAPI PERLU DIINGAT BAHWA PERPU INI DUA HARI SETELAH DIAJUKAN LANGSUNG DITOLAK OLEH DPR. ANEHNYA, SAMPAI SAAT INI PERPU INI MASIH TERUS MENERUS DIJADIKAN DASAR HUKUM YANG MEMPERKUAT PEMBENARAN PENGUCURAN DANA KEPADA CENTURY..

BUKAN DOMAIN PRESIDEN..?

DALAM KASUS CENTURY, MANTAN MENSESNEG HATTA RAJASA MENGATAKAN BAHWA PRESIDEN TIDAK MAU MENCAMPURI URUSAN CENTURY, KARENA URUSAN INI TIDAK TERMASUK DI DALAM DOMAIN-NYA.

Apa ada urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang republik dan lebih-lebih lagi yang sistemnya presidensiil, seorang presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada dalam domain pejabat lain?
Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic kalau pemisahan ke dalam Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif ditafsirkan secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?

Jumat, 25 September 2009

TELAAH DAN TERAPI “OVERHEATED ECONOMY”

Kendati istilah “EKONOMI KEPANASAN” atau sering dikenal dengan istilah “OVERHEATED ECONOMY” masih mengandung masalah konseptual, keadaan perekonomian yang kepanasan dapat difungsikan sebagai rambu untuk menyimak kembali perkembangan ekonomi yang telah berlangsung. Keadaan perekonomian yang kepanasan dicermikan antara lain oleh “PERTUMBUHAN EKONOMI YANG DIIRINGI OLEH DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN YANG KIAN MEMBENGKAK, serta LAJU INFLASI SECARA TIDAK PROPORSIONAL”. Dalam bahasa sehari-hari, “GAIRAH INVESTASI DAN PRODUKSI MENGAKIBATKAN NILAI IMPOR DAN JASA SEMAKIN MELEBIHI NILAI EKSPORNYA, SERTA MENGAKIBATKAN KENAIKAN HARGA-HARGA YANG RELATIF BERLEBIHAN DIBANDINGKAN DENGAN PERKEMBANGAN INVESTASI DAN PRODUKSI YANG ADA.

Bahwa perkembangan investasi dan produksi menyebabkan impor bertambah, tentu saja mudah dipahami. Sebagai sebuah Negara yang sedang tumbuh, Indonesia masih kekurangan barang modal (“CAPITAL”). Oleh karenanya, bisa dimaklumi jika perkembangan investasi dan produksi di dalam negeri khususnya dalam sektor industri, menyebabkan kebutuhan akan kapital bertambah sehingga impor pun meningkat. Yang tidak dapat dimengerti adalah “MENGAPA KENAIKAN IMPOR ITU MENGAKIBATKAN NILAINYA SEMAKIN LAMA JUSTRU SEMAKIN SEMAKIN MELEBIHI NILAI EKSPOR BARANG DAN JASA”.
Demikian pula halnya tentang hubungan investasi dan produksi dengan tingkat harga-harga umum. Bahwa perkembangan investasi dan produksi menyebabkan harga-harga menjadi lebih tinggi, Tidaklah dipahami. Perkembangan investasi dan produksi berarti kenaikan permintaan akan barang-barang (barang modal, bahan baku, barang antara) dan jasa (tenaga kerja, modal). Karena supply tidak seketika dapat dapat mengimbangi, maka kenaikan demand menyebabkan harga faktor-faktor produksi terpaksa naik. Konsekuensi logis semacam wajar dan lumrah, serta tentu saja bisa dimaklumi. Yang tidak dapat dimengerti ialah “MENGAPA KEMUDIAN HAL ITU MENGAKIBATKAN HARGA-HARGA BARANG DAN JASA PADA UMUMNYA JUSTRU NAIK MELAMPAUI KENAIKAN INVESTASI DAN PRODUKSI..?

KONSENTRASI INDUSTRI DAN INTEGRASI VERTIKAL
Istilah “Konsentrasi Industri” merujuk pada penguasaan pangsa pasar oleh beberapa perusahaan besar sejenis di dalam suatu industri tertentu. Dua alat analisis yang lazim dipakai ialah “INDEKS HERFINDAHL dan CR-4. Yang disebut terakhir ini mengukur dominasi oleh empat perusahaan terbesar di dalam industri. Sebagai contoh, misalkan CR-4 untuk komoditas produk-produk elektronika adalah 75. Ini berarti keempat perusahaan terbesar di dalam industri elektronika menguasai 75 persen pangsa pasar produk-produk elektronika. Angka CR-4 yang semakin besar mengisyaratkan struktur pasar yang semakin oligapolis.
Berkenaan dengan hal ini, penelitian Arti Adji mengemukakan hubungan yang positif-signifikan antara konsentrasi industri dengan penyesuaian harga. KONSENTRASI INDUSTRI tidak pelak lagi merupakan salah satu FAKTOR PEMICU KENAIKAN HARGA-HARGA.

Konsentrasi industri berhubungan erat dengan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yakni tindakan mendirikan perusahaan-perusahaan anak di bagian hulu dan bagian hilir. Perusahaan anak yang terletak di hulu berfungsi sebagai pemasok bahan-bahan baku yang dibutuhkan oleh perusahaan induk. Sedangkan perusahaan anak yang berada di hilir berfungsi sebagai agen pemasaran dan pelayanan purna jual bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan induk. Hubungan tingkat integrasi vertikal dengan rasio konsentrasi industri bersifat searah. Agaknya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor indsutri pengolahan cukup sadar, bahwa semakin besar mereka menguasai pangsa pasar, semakin penting dilakukan integrasi vertikal untuk memelihara eksistensinya. Tanpa itu boleh jadi sebagian pangsa pasar yang sudah terkuasai akan hilang direbut perusahaan besar lain yang bergerak di dalam industri serupa.

Perilaku integrasi vertikal itu sendiri, apabila dikaitkan dengan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah, ternyata bervariasi. Deregulasi moneter (dalam bidang keuangan dan perbankan) yang diluncurkan pada tahun 1983 menyebabkan derajat investasi vertikal meningkat. Tetapi, deregulasi di sektor riil (dalam bidang indsutri dan perdagangan) yang diluncurkan pada tahun 1986 berhasil mengurangi kadar integrasi vertikal. Ternyata, DEREGULASI SEKTOR RIIL BERDAMPAK CUKUP EFEKTIF BAGI TERBENTUKNYA MEKANISME PASAR YANG SEMAKIN KOMPETITIF.

Penurunan kadar investasi vertikal menyiratkan makna bahwa industriawan Indonesia lebih memilih untuk berkembang secara horizontal daripada secara vertikal. Ini menggambarkan betapa indsutri manufaktur nasional lebih tertarik untuk MERAGAMKAN JENIS USAHANYA KETIMBANG MELAKUKAN PENDALAMAN INDUSTRI, dan juga sekaligus menggambarkan bahwa INSENTIF UNTUK BERINTEGRASI VERTIKAL TIDAK TERLALU MEMBERIKAN KEUNTUNGAN BAGI PERUSAHAAN. Industrialis Indonesia telah menjadi sangat ekstensif dalam pola usahanya, sebaliknya telah menjadi kurang intensif. Dengan perkataan lain : PENGUSAHA-PEGUSAHA BESAR KITA SECARA UMUM TELAH BERGERAK DI SEKTOR-SEKTOR YANG BERVARIASI DAN LEBIH MENGUNTUNGKAN, NAMUN HANYA SEDIKIT DI ANTARA MEREKA YANG MENEMPUH PENDALAMAN INDSUTRI SECARA SISTEMATIK.
Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa indsutriawan-indsutriawan besar itu tidak melakukan pendalaman indsutri.
PERTAMA, pasar faktor produksi telah dilindungi oleh deregulasi pemerintah, mereka lebih suka berkonsentrasi untuk memperbesar keuntungan melalui proses “KONGLOMERASI”.
KEDUA, kemampuan industri nasional kita memang masih hanya sampai pada tingkatan pengolahan ringan (perakitan dan pengemasan) dan pemasaran saja, sementara proses awal dan intinya tetap dikerjakan oleh perusahaan prinsipal luar negeri.
KETIGA, penguasaan faktor produksi memang kurang dianggap perlu mengingat sudah berada pada persaingan ketat.
KEANEHAN PERILAKU INVESTASI
Dugaan tentang tidak dilakukannya pendalaman indsutri oleh industriawan-industriawan besar, dapat dikonfirmasi dari pegaruh negatif kadar integrasi vertikal terhadap gairah investasi. Manakala integrasi vertikal berkadar tinggi, penanaman modal di negeri ini justru kurang bergairah. Sebaliknya, ketika kadar integrasi vertikal itu sendiri rendah, investasi bergairah.
Teori Ekonomi menyatakan “GAIRAH INVESTASI DIPENGARUHI OLEH TINGKAT BUNGA DENGAN POLA BERLAWANAN ARAH ATAU BERBANDING TERBALIK.” Tingkat bunga tinggi meredam gairah investasi, sebaliknya tingkat bunga rendah akan merangsang investasi. Tesis ini telah terbukti berlaku universal. Gairah investasi di Indonesia juga turut terbukti dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tetapi , pola hubungannya sukar dimengerti. Bukannya negatif, investasi di Indonesia ternyata berhubugan positif dengan tingkat bunga.
Temuan aneh ini tentu saja tidak harus disimpulkan bahwa untuk menggairahkan investasi lantas kita harus meninggikan tingkat bunga, melainkan lebih tepat untuk ditafsirkan bahwa para pelaku bisnis cenderung tidak mengindahkan tingginya tingkat bunga dalam mengambil keputusan investasi. Tingkat bunga di Indonesia juga tidak mencerminkan “OPPORTUNITY COST” dari investasi yang dilakukan. Dorongan investasi di dalam negeri agaknya bukan karena pertimbangan perbandingan perolehan terhadap ongkos, melainkan lebih karena terbukanya peluang berkat deregulasi sektor riil.

Dua kemungkinan alasan bisa diajukan menerangkan mengapa investasi tidak memperdulikan perilaku tingkat bunga.
PERTAMA, investasi yang dilakukan mungkin kurang memanfaatkan dana yang tersedia di pasar uang (bank-bank) dalam negeri, tetapi lebih memanfaatkan dana berbunga dari luar negeri atau dari dalam kelompok perusahaan sendiri.
KEDUA, “EXPECTED RETURN” dari investasi di Indonesia boleh jadi sedemikian tinggi, sehingga tingkat bunga yang tinggi justru dipandang sebagai indikator peluang bisnis dan keuntungan yang tinggi pula.
Berangkat dari kejanggalan perilaku investasi ini, beralasan untuk mempertanyakan keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil di tanah air. Dulu sesudah luncuran deregulasi moneter yang beruntun, industri perbakan tanah air tumbuh sangat pesat. Hasilnya, dana masyarakat yang berhasil dihimpun melonjak luar biasa. Bank-bank sempat mengalami kelebihan likuiditas, sehingga sampai-sampai perlu digebrak agar tersalur ke masyarakat. Namun, besarnya dana yang dimiliki oleh bank-bank tesebut ternyata tidak mampu menurunkan tingkat suku bunga. Selaku penyedian dana investasi, bank-bank lebih suka “BERSPEKULASI TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA KELANGKAAN MODAL MELALUI PEMEGANGAN CADANGAN LEBIH (“EXCESS RESERVES”) YANG BESAR.”

Tingkat bunga yang tinggi dipertahankan sebagai upaya untuk menyerap dana luar negeri atau menahan agar tidak terjadi pelarian modal ke luar negeri. Pandangan teoritis bahwa PASAR UANG MERUPAKAN PELENGKAP PASAR BARANG TIDAK TERBUKTI DI NEGERI INI.. Situasi pasar uang di Indonesia yang begitu menawan, sehingga justru telah menjadi pesaing bagi pasar barang. Fakta bahwa deregulasi sektor riil mampu menggairahkan inevestasi, sementara deregulasi sektor moneter kurang efektif untuk itu, bukan mustahil merupakan isyarat tentang TIDAK TERJALINNYA KEDUA SEKTOR TERSEBUT. Jika kekhawatiran ini benar, maka patut dipertanyakan EFEKTIVITAS KOMBINASI KEBIJAKAN (“POLICY MIX”) antara kedua sektor itu dalam mengembangkan perekonomian.

MARGIN PERDAGANGAN
Hal-hal yang diuraikan di atas masih belum mencakup semua hal penting penyebab kenaikan tingkat harga-harga yang pada gilirannya mengakibatkan ekonomi kepanasan. Penyebab lainnya lagi terletak pada sisi perdagangan, khususnya pada aspek distribusi. Kelancaran kegiatan distribusi sangat penting bagi peningkatan (dan sekaligus mencerminkan) efisiensi ekonomi. Melalui telaah terhadap Margin (marjin) perdagangan yang dinikmati oleh masing-masing mata rantai konsumen, dapat diketahui seberap besar (boleh jadi juga seberapa wajar) penambahan harga, serta apa penyebab dan siapa penikmatnya. Sistem distribusi di Indonesia tidak sepenuhnya memiliki fungsi-fungsi sebagaimana sistem distribusi pada umunya. Saluran distribusi di Indonesia tersumbat dan tersegmentasi atas pasar-pasar regional serta tipe barang dan jasa. Banyak perusahaan, dalam upayanya memenangkan persaingan pemasaran, membelanjakan biaya distribusi yang sangat besar.
Sadar bahwa memenangkan saluran distribusi merupakan kunci sukses penjualan, perusahaan-perusahaan pada umumnya bisa memaklumi ketika mereka terpaksa “diminta”memberikan marjin yang substansial kepada unsur-unsur yang terdapat di dalam jaringan distribusi barangnya, baik kepada agen, distributor, pedagang besar, maupun pedagang eceran. Akibatnya, biaya distribusi bahkan bisa menjadi lebih besar daripada biaya produksi, sehingga harga yang dibayar oleh konsumen juga praktis menjadi lebih tinggi.

Menyadari strategisnya peran penguasaan jalur distribusi, perusahaan-perusahaan besar menjadi tergerak untuk mendirikan perusahaan anak dalam bidang ini guna mendistibusikan produk-produk perusahaan-perusahaan sekelompoknya, setidaknya memasarkan produk utama perusahaan perusahaan induknya. Di samping itu, berlangsung pula konsentrasi saluran distribusi di tangan beberapa perusahaan niaga terbesar. Tingginya konsentrasi saluran distribusi memungkinkan produsen yang dominan dapat menciptakan sistem monopolistik, dan tentu saja, mereguk nikmat monopoli tersebut.
Sebuah telaah ekonometris membuktikan, bahwa perusahaan-perusahaan ologopolis memiliki kendali yang lebih terhadap harga pada tingkat distributor, dibandingkan harga pada tingkat pengecer. Dengan kata lain, kendali harga oleh produsen-produsen oligopolis (apalagi monopolis) besar. Mereka masing-masing merupakan penentu harga (“PRICE MAKER”), sementara kalangan konsumen prkatis hanya sebagai penerima harga (“PRICE TAKER”).

Marjin harga pada tingkat permintaan akhir pada umumnya lebih tinggi daripada marjin harga pada tingkat permintaan antara, secara rata-rata 19,05 persen berbanding 13,65 persen. Hal ini berarti penambahan (“MARK UP”) harga pada tingkat pengecer lebih tinggi daripada di tingkat distributor. Terjadinya penambahan harga disebabkan antara lain oleh biaya distribusi, meliputi biaya transportasi, biaya penggudangan/ penyimpanan, dan biaya asuransi. Tetapi, andil biaya dsitribusi dalam pembentukan harga relatif kecil. Secara rata-rata, biaya distribusi (mencakup ketiga macam unsur tadi) hanya menumbang 6,85 persen saja dalam pembentukan harga di tingkat pengecer. Unsur lain penambah kenaikan harga ialah pungutan liar (pungli), kontribusinya berkisar 5-6 persen. Walaupun persentasenya terkesan kecil, hal ini tetap saja memberatkan terutama bagi distributor-distributor kecil dan menengah.

Biaya distribusi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan besar itu sendiri tidak selalu mencerminkan biaya yang sesungguhnya dalam penyampaian barang. Karena adanya integrasi secara vertikal atau penyaluran barang oleh perusahaan se grup, perusahaan-perusahaan besar di indonesia cukup cerdik untuk memisahkan dan kemudian membaurkan sebagian biaya distribusi ke dalam biaya produksi, atau sebaliknya.

LALU APA..?
Berdasarkan konfigurasi di atas, adakah yang bisa dilakukan untuk mengatasi ekonomi kepanasan tersebut..? Dengan mengingat bahwa situasi ekonomi kepanasan dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan tingginya laju inflasi dan membengkaknya defisit transaksi berjalan, maka upaya mengatasi persoalan tersebut dengan mengendalikan kedua ciri tersebut. Penanggulangan ekonomi kepanasan harus ditempuh dengan terapi “EKONOPOLITIK” (ekonomi-politik). Terapi yang dimaksud bukan sekedar kemauan politik (“POLITICAL WILL”), tetapi kehendak politik yang konsisten ditindaklanjuti dengan tindakan ekonomi yang konsekuen. Perangkat ekonopolitik semacam itu meliputi kebijakan sektor riil yang transparan, kebijakan sektor moneter yang berhati-hati, dan kebijakan sektor perdagangan luar negeri yang efisien.
Kebijakan-kebijakan sektoral itu sendiri tidak harus selalu bersifat deregulatif (pelonggaran aturan), namun dalam beberapa hal bisa saja bersifat reregulatif (penataan-ulang aturan). Di sektor riil, kebijakan-kebijakan yang deregulatif masih diperlukan, khususnya yang menggairahkan investasi, meningkatkan produksi, memperlacar distribusi, serta menekan “HIGH COST ECONOMY”. Sektor riil berkedudukan strategis karena telah terbukti efektivitasnya dalam meningkatkan efisiensi perekonomian.

Sektor moneter agaknya memerlukan penataan ulang secara berhati-hati, agar lebih terkait dengan perekonomian secara keseluruhan, khususnya dengan sektor riil, sehingga tidak melaju sendirian. Keberhati-hatian di sektor ini tidak cukup hanya dengan berhati-hati dalam hal pengucuran dana kredit, tetapi juga kesungguhan dalam mencegah dan menindak segala penyimpangan yang berlangsung. Di sektor perdagangan luar negeri, kita harus efisien memanfaatkan potensi yang ada, untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, khususnya defisit Neraca jasa. Kebijakan pembatasan impor agaknya tidak populer dan sudah tidak boleh dilakukan. Indonesia, tidak dapat tidak, harus meningkatkan kemampuan dalam jasa perdagangan luar negeri agar beban neraca jasa dapat diringankan.
Teori ekonopolitik untuk menanggulangi ekonomi kepanasan tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis semata. Tetapi harus pula, dilengkapi dengan kebijakan nyata dalam bidang politik itu sendiri. Berdasarkan ketiga kebijaksanaan teknis sektoral di atas, dengan mudah dapat disimpulkan betapa sangat tergantungnya upaya penanggulangan situasi ekonomi kepanasan pada pemerintah atau sektor negara. Penanggulangan itu nampaknya nyaris tidak mungkin tanpa mengundang intervensi pemerintah dalam perekonomian. Padahal, kepanasan ekonomi yang pernah berlangsung selama ini justru terjadi ketika pemerintah secara politik sangat kuat. Mengapa demikian..?

Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, berkaitan dengan PERKEMBANGAN KAPITALISME DI INDONESIA. Kapitalisme yang berkembang di negeri ini, meminjam istilah RICHARD ROBINSON (1999) adalah KAPITALISME YANG DIKEMBANGKAN OLEH NEGARA (“STATE-LED CAPITALISM”) atau KAPITALISME SEMU (“ERSATZ CAPITALISM”) menurut istilah YOSHIHARA KUNIO (2002). Dalam kapitalisme demikian, campur tangan negara dalam pereknomian sangat besar sehingga tidak tidak saja mengganggu iklim persaingan yang sehat, tetapi juga menumbuh suburkan PEMBURU RENTE (“RENT SEEKERS”) dalam birokrasi pemerintahan. Para pemburu rente tadi ke dalam melakukan korupsi, dan ke luar melakukan kolusi. Infromasi kebijaksanaan ekonomi pemerintah berubah menjadi komoditas, baik yang menyangkut berupa syarat maupun tata cara penyelenggaraan sesuatu, apalagi menyangkut tarif resmi jasa tertentu. Dalam suasana yang koruptif-kolusif seperti itu, upaya pengendalian birokrasi agar tercipta iklim persaingan yang sehat dan ongkos administrasi usaha yang wajar, menjadim tidak populer. Praktik perburuan rente yang meluas di jajaran birokrasi berdampak struktural dan kultural terhadap kalangan dunia usaha.

Secara struktural, hal itu menyebabkan struktur biaya produksi dan biaya operasi perusahaan membengkak. Padahal, sekali suatu perusahaan melakukan pembengkakan di dalam unsur-unsur biayanya, dampaknya beruntun ke perusahaan lain di hilirnya. Secara makro, hal itu menimbulkan situasi “HIGH COST ECONOMY”. Sedangkan secara kultural, kolusi birokrat dengan pengusaha melahirkan budaya KETERGANTUNGAN di dalam kalangan dunia usaha. Pengusaha-pengusaha sibuk mencari patron di dalam lingkungan birokrasi, kemudian menutup biaya patronase itu dengan memanipulasi kegiatan dan laporan keuangannya. Dalam kancah politik riil, PRAKTIK PERBURUAN RENTE INI HARUS DIBASMI. Tanpa pejernihan birokrasi secara politik, kebijakan-kebijakan ekonomi-teknis akan kurang efektif menghadang ekonomi kepanasan (“OVERHEATED ECONOMY”).

Terapi ekonopolitik ini bukanlah angan-angan idealis. Setidaknnya Bank Dunia juga memiliki persepsi senada. Di samping ,menyarankan pengetatan kebijakan fiskal guna meningkatkan surplus anggaran, serta pemeliharaan kebijaksanaan moneter yang juga ketat, mereka juga mengkhawatirkan pula kemampuan otoritas finansial untuk meletakkan kepentingan negaranya di atas kepentingan kelompok-kelompok tertentu.