Jumat, 25 September 2009

TELAAH DAN TERAPI “OVERHEATED ECONOMY”

Kendati istilah “EKONOMI KEPANASAN” atau sering dikenal dengan istilah “OVERHEATED ECONOMY” masih mengandung masalah konseptual, keadaan perekonomian yang kepanasan dapat difungsikan sebagai rambu untuk menyimak kembali perkembangan ekonomi yang telah berlangsung. Keadaan perekonomian yang kepanasan dicermikan antara lain oleh “PERTUMBUHAN EKONOMI YANG DIIRINGI OLEH DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN YANG KIAN MEMBENGKAK, serta LAJU INFLASI SECARA TIDAK PROPORSIONAL”. Dalam bahasa sehari-hari, “GAIRAH INVESTASI DAN PRODUKSI MENGAKIBATKAN NILAI IMPOR DAN JASA SEMAKIN MELEBIHI NILAI EKSPORNYA, SERTA MENGAKIBATKAN KENAIKAN HARGA-HARGA YANG RELATIF BERLEBIHAN DIBANDINGKAN DENGAN PERKEMBANGAN INVESTASI DAN PRODUKSI YANG ADA.

Bahwa perkembangan investasi dan produksi menyebabkan impor bertambah, tentu saja mudah dipahami. Sebagai sebuah Negara yang sedang tumbuh, Indonesia masih kekurangan barang modal (“CAPITAL”). Oleh karenanya, bisa dimaklumi jika perkembangan investasi dan produksi di dalam negeri khususnya dalam sektor industri, menyebabkan kebutuhan akan kapital bertambah sehingga impor pun meningkat. Yang tidak dapat dimengerti adalah “MENGAPA KENAIKAN IMPOR ITU MENGAKIBATKAN NILAINYA SEMAKIN LAMA JUSTRU SEMAKIN SEMAKIN MELEBIHI NILAI EKSPOR BARANG DAN JASA”.
Demikian pula halnya tentang hubungan investasi dan produksi dengan tingkat harga-harga umum. Bahwa perkembangan investasi dan produksi menyebabkan harga-harga menjadi lebih tinggi, Tidaklah dipahami. Perkembangan investasi dan produksi berarti kenaikan permintaan akan barang-barang (barang modal, bahan baku, barang antara) dan jasa (tenaga kerja, modal). Karena supply tidak seketika dapat dapat mengimbangi, maka kenaikan demand menyebabkan harga faktor-faktor produksi terpaksa naik. Konsekuensi logis semacam wajar dan lumrah, serta tentu saja bisa dimaklumi. Yang tidak dapat dimengerti ialah “MENGAPA KEMUDIAN HAL ITU MENGAKIBATKAN HARGA-HARGA BARANG DAN JASA PADA UMUMNYA JUSTRU NAIK MELAMPAUI KENAIKAN INVESTASI DAN PRODUKSI..?

KONSENTRASI INDUSTRI DAN INTEGRASI VERTIKAL
Istilah “Konsentrasi Industri” merujuk pada penguasaan pangsa pasar oleh beberapa perusahaan besar sejenis di dalam suatu industri tertentu. Dua alat analisis yang lazim dipakai ialah “INDEKS HERFINDAHL dan CR-4. Yang disebut terakhir ini mengukur dominasi oleh empat perusahaan terbesar di dalam industri. Sebagai contoh, misalkan CR-4 untuk komoditas produk-produk elektronika adalah 75. Ini berarti keempat perusahaan terbesar di dalam industri elektronika menguasai 75 persen pangsa pasar produk-produk elektronika. Angka CR-4 yang semakin besar mengisyaratkan struktur pasar yang semakin oligapolis.
Berkenaan dengan hal ini, penelitian Arti Adji mengemukakan hubungan yang positif-signifikan antara konsentrasi industri dengan penyesuaian harga. KONSENTRASI INDUSTRI tidak pelak lagi merupakan salah satu FAKTOR PEMICU KENAIKAN HARGA-HARGA.

Konsentrasi industri berhubungan erat dengan integrasi vertikal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yakni tindakan mendirikan perusahaan-perusahaan anak di bagian hulu dan bagian hilir. Perusahaan anak yang terletak di hulu berfungsi sebagai pemasok bahan-bahan baku yang dibutuhkan oleh perusahaan induk. Sedangkan perusahaan anak yang berada di hilir berfungsi sebagai agen pemasaran dan pelayanan purna jual bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan induk. Hubungan tingkat integrasi vertikal dengan rasio konsentrasi industri bersifat searah. Agaknya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor indsutri pengolahan cukup sadar, bahwa semakin besar mereka menguasai pangsa pasar, semakin penting dilakukan integrasi vertikal untuk memelihara eksistensinya. Tanpa itu boleh jadi sebagian pangsa pasar yang sudah terkuasai akan hilang direbut perusahaan besar lain yang bergerak di dalam industri serupa.

Perilaku integrasi vertikal itu sendiri, apabila dikaitkan dengan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah, ternyata bervariasi. Deregulasi moneter (dalam bidang keuangan dan perbankan) yang diluncurkan pada tahun 1983 menyebabkan derajat investasi vertikal meningkat. Tetapi, deregulasi di sektor riil (dalam bidang indsutri dan perdagangan) yang diluncurkan pada tahun 1986 berhasil mengurangi kadar integrasi vertikal. Ternyata, DEREGULASI SEKTOR RIIL BERDAMPAK CUKUP EFEKTIF BAGI TERBENTUKNYA MEKANISME PASAR YANG SEMAKIN KOMPETITIF.

Penurunan kadar investasi vertikal menyiratkan makna bahwa industriawan Indonesia lebih memilih untuk berkembang secara horizontal daripada secara vertikal. Ini menggambarkan betapa indsutri manufaktur nasional lebih tertarik untuk MERAGAMKAN JENIS USAHANYA KETIMBANG MELAKUKAN PENDALAMAN INDUSTRI, dan juga sekaligus menggambarkan bahwa INSENTIF UNTUK BERINTEGRASI VERTIKAL TIDAK TERLALU MEMBERIKAN KEUNTUNGAN BAGI PERUSAHAAN. Industrialis Indonesia telah menjadi sangat ekstensif dalam pola usahanya, sebaliknya telah menjadi kurang intensif. Dengan perkataan lain : PENGUSAHA-PEGUSAHA BESAR KITA SECARA UMUM TELAH BERGERAK DI SEKTOR-SEKTOR YANG BERVARIASI DAN LEBIH MENGUNTUNGKAN, NAMUN HANYA SEDIKIT DI ANTARA MEREKA YANG MENEMPUH PENDALAMAN INDSUTRI SECARA SISTEMATIK.
Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa indsutriawan-indsutriawan besar itu tidak melakukan pendalaman indsutri.
PERTAMA, pasar faktor produksi telah dilindungi oleh deregulasi pemerintah, mereka lebih suka berkonsentrasi untuk memperbesar keuntungan melalui proses “KONGLOMERASI”.
KEDUA, kemampuan industri nasional kita memang masih hanya sampai pada tingkatan pengolahan ringan (perakitan dan pengemasan) dan pemasaran saja, sementara proses awal dan intinya tetap dikerjakan oleh perusahaan prinsipal luar negeri.
KETIGA, penguasaan faktor produksi memang kurang dianggap perlu mengingat sudah berada pada persaingan ketat.
KEANEHAN PERILAKU INVESTASI
Dugaan tentang tidak dilakukannya pendalaman indsutri oleh industriawan-industriawan besar, dapat dikonfirmasi dari pegaruh negatif kadar integrasi vertikal terhadap gairah investasi. Manakala integrasi vertikal berkadar tinggi, penanaman modal di negeri ini justru kurang bergairah. Sebaliknya, ketika kadar integrasi vertikal itu sendiri rendah, investasi bergairah.
Teori Ekonomi menyatakan “GAIRAH INVESTASI DIPENGARUHI OLEH TINGKAT BUNGA DENGAN POLA BERLAWANAN ARAH ATAU BERBANDING TERBALIK.” Tingkat bunga tinggi meredam gairah investasi, sebaliknya tingkat bunga rendah akan merangsang investasi. Tesis ini telah terbukti berlaku universal. Gairah investasi di Indonesia juga turut terbukti dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tetapi , pola hubungannya sukar dimengerti. Bukannya negatif, investasi di Indonesia ternyata berhubugan positif dengan tingkat bunga.
Temuan aneh ini tentu saja tidak harus disimpulkan bahwa untuk menggairahkan investasi lantas kita harus meninggikan tingkat bunga, melainkan lebih tepat untuk ditafsirkan bahwa para pelaku bisnis cenderung tidak mengindahkan tingginya tingkat bunga dalam mengambil keputusan investasi. Tingkat bunga di Indonesia juga tidak mencerminkan “OPPORTUNITY COST” dari investasi yang dilakukan. Dorongan investasi di dalam negeri agaknya bukan karena pertimbangan perbandingan perolehan terhadap ongkos, melainkan lebih karena terbukanya peluang berkat deregulasi sektor riil.

Dua kemungkinan alasan bisa diajukan menerangkan mengapa investasi tidak memperdulikan perilaku tingkat bunga.
PERTAMA, investasi yang dilakukan mungkin kurang memanfaatkan dana yang tersedia di pasar uang (bank-bank) dalam negeri, tetapi lebih memanfaatkan dana berbunga dari luar negeri atau dari dalam kelompok perusahaan sendiri.
KEDUA, “EXPECTED RETURN” dari investasi di Indonesia boleh jadi sedemikian tinggi, sehingga tingkat bunga yang tinggi justru dipandang sebagai indikator peluang bisnis dan keuntungan yang tinggi pula.
Berangkat dari kejanggalan perilaku investasi ini, beralasan untuk mempertanyakan keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil di tanah air. Dulu sesudah luncuran deregulasi moneter yang beruntun, industri perbakan tanah air tumbuh sangat pesat. Hasilnya, dana masyarakat yang berhasil dihimpun melonjak luar biasa. Bank-bank sempat mengalami kelebihan likuiditas, sehingga sampai-sampai perlu digebrak agar tersalur ke masyarakat. Namun, besarnya dana yang dimiliki oleh bank-bank tesebut ternyata tidak mampu menurunkan tingkat suku bunga. Selaku penyedian dana investasi, bank-bank lebih suka “BERSPEKULASI TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA KELANGKAAN MODAL MELALUI PEMEGANGAN CADANGAN LEBIH (“EXCESS RESERVES”) YANG BESAR.”

Tingkat bunga yang tinggi dipertahankan sebagai upaya untuk menyerap dana luar negeri atau menahan agar tidak terjadi pelarian modal ke luar negeri. Pandangan teoritis bahwa PASAR UANG MERUPAKAN PELENGKAP PASAR BARANG TIDAK TERBUKTI DI NEGERI INI.. Situasi pasar uang di Indonesia yang begitu menawan, sehingga justru telah menjadi pesaing bagi pasar barang. Fakta bahwa deregulasi sektor riil mampu menggairahkan inevestasi, sementara deregulasi sektor moneter kurang efektif untuk itu, bukan mustahil merupakan isyarat tentang TIDAK TERJALINNYA KEDUA SEKTOR TERSEBUT. Jika kekhawatiran ini benar, maka patut dipertanyakan EFEKTIVITAS KOMBINASI KEBIJAKAN (“POLICY MIX”) antara kedua sektor itu dalam mengembangkan perekonomian.

MARGIN PERDAGANGAN
Hal-hal yang diuraikan di atas masih belum mencakup semua hal penting penyebab kenaikan tingkat harga-harga yang pada gilirannya mengakibatkan ekonomi kepanasan. Penyebab lainnya lagi terletak pada sisi perdagangan, khususnya pada aspek distribusi. Kelancaran kegiatan distribusi sangat penting bagi peningkatan (dan sekaligus mencerminkan) efisiensi ekonomi. Melalui telaah terhadap Margin (marjin) perdagangan yang dinikmati oleh masing-masing mata rantai konsumen, dapat diketahui seberap besar (boleh jadi juga seberapa wajar) penambahan harga, serta apa penyebab dan siapa penikmatnya. Sistem distribusi di Indonesia tidak sepenuhnya memiliki fungsi-fungsi sebagaimana sistem distribusi pada umunya. Saluran distribusi di Indonesia tersumbat dan tersegmentasi atas pasar-pasar regional serta tipe barang dan jasa. Banyak perusahaan, dalam upayanya memenangkan persaingan pemasaran, membelanjakan biaya distribusi yang sangat besar.
Sadar bahwa memenangkan saluran distribusi merupakan kunci sukses penjualan, perusahaan-perusahaan pada umumnya bisa memaklumi ketika mereka terpaksa “diminta”memberikan marjin yang substansial kepada unsur-unsur yang terdapat di dalam jaringan distribusi barangnya, baik kepada agen, distributor, pedagang besar, maupun pedagang eceran. Akibatnya, biaya distribusi bahkan bisa menjadi lebih besar daripada biaya produksi, sehingga harga yang dibayar oleh konsumen juga praktis menjadi lebih tinggi.

Menyadari strategisnya peran penguasaan jalur distribusi, perusahaan-perusahaan besar menjadi tergerak untuk mendirikan perusahaan anak dalam bidang ini guna mendistibusikan produk-produk perusahaan-perusahaan sekelompoknya, setidaknya memasarkan produk utama perusahaan perusahaan induknya. Di samping itu, berlangsung pula konsentrasi saluran distribusi di tangan beberapa perusahaan niaga terbesar. Tingginya konsentrasi saluran distribusi memungkinkan produsen yang dominan dapat menciptakan sistem monopolistik, dan tentu saja, mereguk nikmat monopoli tersebut.
Sebuah telaah ekonometris membuktikan, bahwa perusahaan-perusahaan ologopolis memiliki kendali yang lebih terhadap harga pada tingkat distributor, dibandingkan harga pada tingkat pengecer. Dengan kata lain, kendali harga oleh produsen-produsen oligopolis (apalagi monopolis) besar. Mereka masing-masing merupakan penentu harga (“PRICE MAKER”), sementara kalangan konsumen prkatis hanya sebagai penerima harga (“PRICE TAKER”).

Marjin harga pada tingkat permintaan akhir pada umumnya lebih tinggi daripada marjin harga pada tingkat permintaan antara, secara rata-rata 19,05 persen berbanding 13,65 persen. Hal ini berarti penambahan (“MARK UP”) harga pada tingkat pengecer lebih tinggi daripada di tingkat distributor. Terjadinya penambahan harga disebabkan antara lain oleh biaya distribusi, meliputi biaya transportasi, biaya penggudangan/ penyimpanan, dan biaya asuransi. Tetapi, andil biaya dsitribusi dalam pembentukan harga relatif kecil. Secara rata-rata, biaya distribusi (mencakup ketiga macam unsur tadi) hanya menumbang 6,85 persen saja dalam pembentukan harga di tingkat pengecer. Unsur lain penambah kenaikan harga ialah pungutan liar (pungli), kontribusinya berkisar 5-6 persen. Walaupun persentasenya terkesan kecil, hal ini tetap saja memberatkan terutama bagi distributor-distributor kecil dan menengah.

Biaya distribusi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan besar itu sendiri tidak selalu mencerminkan biaya yang sesungguhnya dalam penyampaian barang. Karena adanya integrasi secara vertikal atau penyaluran barang oleh perusahaan se grup, perusahaan-perusahaan besar di indonesia cukup cerdik untuk memisahkan dan kemudian membaurkan sebagian biaya distribusi ke dalam biaya produksi, atau sebaliknya.

LALU APA..?
Berdasarkan konfigurasi di atas, adakah yang bisa dilakukan untuk mengatasi ekonomi kepanasan tersebut..? Dengan mengingat bahwa situasi ekonomi kepanasan dicirikan oleh pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan tingginya laju inflasi dan membengkaknya defisit transaksi berjalan, maka upaya mengatasi persoalan tersebut dengan mengendalikan kedua ciri tersebut. Penanggulangan ekonomi kepanasan harus ditempuh dengan terapi “EKONOPOLITIK” (ekonomi-politik). Terapi yang dimaksud bukan sekedar kemauan politik (“POLITICAL WILL”), tetapi kehendak politik yang konsisten ditindaklanjuti dengan tindakan ekonomi yang konsekuen. Perangkat ekonopolitik semacam itu meliputi kebijakan sektor riil yang transparan, kebijakan sektor moneter yang berhati-hati, dan kebijakan sektor perdagangan luar negeri yang efisien.
Kebijakan-kebijakan sektoral itu sendiri tidak harus selalu bersifat deregulatif (pelonggaran aturan), namun dalam beberapa hal bisa saja bersifat reregulatif (penataan-ulang aturan). Di sektor riil, kebijakan-kebijakan yang deregulatif masih diperlukan, khususnya yang menggairahkan investasi, meningkatkan produksi, memperlacar distribusi, serta menekan “HIGH COST ECONOMY”. Sektor riil berkedudukan strategis karena telah terbukti efektivitasnya dalam meningkatkan efisiensi perekonomian.

Sektor moneter agaknya memerlukan penataan ulang secara berhati-hati, agar lebih terkait dengan perekonomian secara keseluruhan, khususnya dengan sektor riil, sehingga tidak melaju sendirian. Keberhati-hatian di sektor ini tidak cukup hanya dengan berhati-hati dalam hal pengucuran dana kredit, tetapi juga kesungguhan dalam mencegah dan menindak segala penyimpangan yang berlangsung. Di sektor perdagangan luar negeri, kita harus efisien memanfaatkan potensi yang ada, untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan, khususnya defisit Neraca jasa. Kebijakan pembatasan impor agaknya tidak populer dan sudah tidak boleh dilakukan. Indonesia, tidak dapat tidak, harus meningkatkan kemampuan dalam jasa perdagangan luar negeri agar beban neraca jasa dapat diringankan.
Teori ekonopolitik untuk menanggulangi ekonomi kepanasan tidak cukup hanya mengandalkan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis semata. Tetapi harus pula, dilengkapi dengan kebijakan nyata dalam bidang politik itu sendiri. Berdasarkan ketiga kebijaksanaan teknis sektoral di atas, dengan mudah dapat disimpulkan betapa sangat tergantungnya upaya penanggulangan situasi ekonomi kepanasan pada pemerintah atau sektor negara. Penanggulangan itu nampaknya nyaris tidak mungkin tanpa mengundang intervensi pemerintah dalam perekonomian. Padahal, kepanasan ekonomi yang pernah berlangsung selama ini justru terjadi ketika pemerintah secara politik sangat kuat. Mengapa demikian..?

Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, berkaitan dengan PERKEMBANGAN KAPITALISME DI INDONESIA. Kapitalisme yang berkembang di negeri ini, meminjam istilah RICHARD ROBINSON (1999) adalah KAPITALISME YANG DIKEMBANGKAN OLEH NEGARA (“STATE-LED CAPITALISM”) atau KAPITALISME SEMU (“ERSATZ CAPITALISM”) menurut istilah YOSHIHARA KUNIO (2002). Dalam kapitalisme demikian, campur tangan negara dalam pereknomian sangat besar sehingga tidak tidak saja mengganggu iklim persaingan yang sehat, tetapi juga menumbuh suburkan PEMBURU RENTE (“RENT SEEKERS”) dalam birokrasi pemerintahan. Para pemburu rente tadi ke dalam melakukan korupsi, dan ke luar melakukan kolusi. Infromasi kebijaksanaan ekonomi pemerintah berubah menjadi komoditas, baik yang menyangkut berupa syarat maupun tata cara penyelenggaraan sesuatu, apalagi menyangkut tarif resmi jasa tertentu. Dalam suasana yang koruptif-kolusif seperti itu, upaya pengendalian birokrasi agar tercipta iklim persaingan yang sehat dan ongkos administrasi usaha yang wajar, menjadim tidak populer. Praktik perburuan rente yang meluas di jajaran birokrasi berdampak struktural dan kultural terhadap kalangan dunia usaha.

Secara struktural, hal itu menyebabkan struktur biaya produksi dan biaya operasi perusahaan membengkak. Padahal, sekali suatu perusahaan melakukan pembengkakan di dalam unsur-unsur biayanya, dampaknya beruntun ke perusahaan lain di hilirnya. Secara makro, hal itu menimbulkan situasi “HIGH COST ECONOMY”. Sedangkan secara kultural, kolusi birokrat dengan pengusaha melahirkan budaya KETERGANTUNGAN di dalam kalangan dunia usaha. Pengusaha-pengusaha sibuk mencari patron di dalam lingkungan birokrasi, kemudian menutup biaya patronase itu dengan memanipulasi kegiatan dan laporan keuangannya. Dalam kancah politik riil, PRAKTIK PERBURUAN RENTE INI HARUS DIBASMI. Tanpa pejernihan birokrasi secara politik, kebijakan-kebijakan ekonomi-teknis akan kurang efektif menghadang ekonomi kepanasan (“OVERHEATED ECONOMY”).

Terapi ekonopolitik ini bukanlah angan-angan idealis. Setidaknnya Bank Dunia juga memiliki persepsi senada. Di samping ,menyarankan pengetatan kebijakan fiskal guna meningkatkan surplus anggaran, serta pemeliharaan kebijaksanaan moneter yang juga ketat, mereka juga mengkhawatirkan pula kemampuan otoritas finansial untuk meletakkan kepentingan negaranya di atas kepentingan kelompok-kelompok tertentu.