Satu pejelasan menarik dari Menkeu saat dicecar wartawan mengenai utang pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, menkeu berkilah, saat ini praktis hampir semua Negara menghadapi masalah utang. Bukan cuman Indonesia saja yang terbebani utang maha dashyat, yang jumlahnya berimbang dengan PDB (Produk Domestik Brutto) setahun, bahkan Negara-negara maju juga menghadapi persoalan utang pemerintah (“GOVERNMENT DEBT”). Saya tahu, bahwa menkeu sedang menjalankan tugas untuk menenangkan masyarakat dari kepanikan utang. Suatu terapi yang sengaja di ungkapkan untuk menenangkan masyarakat. Dan, faktanya memang demikian. Wabah utang memang telah terjangkit di mana-mana, di seluruh dunia, menjadi fenomena global. Akan tetapi, meski demikian, tentu saja TIDAK DAPAT DISIMPULKAN BAHWA “UTANG ADALAH MASALAH TIPIKAL YANG DIHADAPI BANYAK NEGARA, SEHINGGA DIANGGAP BIASA-BIASA SAJA”. Utang yang dihadapi bangsa
“HOROR” KEBANGKRUTAN
Utang adalah contoh produk yang bisa dibilang amat “global” atau universal. Semua pihak memerlukan utang, mulai dari rumah tangga (“HOUSEHOLD”), perusahaan (COMPANY”), sampai pemerintah (“GOVERNMENT”). SEMUANYA BERUTANG.. Utang secara tidak disadari telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan ekonomi. Makin lama, KECENDERUNGAN UTANG MENJADI MAKIN BERANI, ATAU KIAN “EXCESSIVE”. Peristiwa bangkrutnya perekonomian
Laporan utama dari “THE ECONOMIST- PROSPECT FOT THE WORLD ECONOMY” bahkan mengingatkan, bahwa betapa peluang pemulihan ekonomi di dunia saat ini AMAT TERGANTUNG DAN TERBEBANI PERSOALAN UTANG. Utang bisa menjegal upaya “RECOVERY” ekonomi dan meredam efek resesi yang dalam. Namun optimisme yang sempat beredar, saat ini patut diragukan. Kebangkrutan beberapa perusahaan raksasa di Amerika merupakan salah satu alasannya.
PAUL KRUGMAN pernah menulis di THE NEW YORK TIMES tentang kebangkrutan salah satu perusahaan energi raksasa yaitu “ENRON”. Di
Kata kuncinya adalah “DISIPLIN” dan “KECEROBOHAN. Kasus- kasus kebangkrutan
Menkeu juga pernah mencoba membandingkan Negara ini dengan Negara-negara maju untuk masalah utang ini. Beliau mengatakan, masih banyak Negara lain yang rasio utang pemerintahya berbanding PDB melebihi 100 persen. Beliau mencontohkan, Negara Jepang. Jepang rasio utangnya mencapai 140 persen terhadap PDB. Ini merupakan rekor tertinggi utang pemerintah Negara maju.
Dalam hal ini beliau memang benar, Akan tetapi JANGAN SALAH MENYIMPULKAN (“MISLEADING”). Ini tidak berarti bahwa KONDISI JEPANG LEBIH JELEK DARI
Jadi inilah FAKTA KONFIGURASI EKONOMI GLOBAL kini, PEMERINTAH JEPANG ADALAH PENGUTANG TERBESAR (RASIO UTANG TERHADAP PDB MENCAPAI 40 PERSEN), TETAPI RAKYATNYA, YANG DIWAKILI PADA INVESTOR ATAU FUND MANAGER, MERUPAKAN PEMILIK TERBESAR OBLIGASI GLOBAL. Jadi apa hubungan semuanya ini dengan kestabilan ekonomi pemerintah…? Jawabannya adalah bahwa UTANG PEMERINTAH JEPANG BUKAN HAL YANG PERLU DIRISAUKAN. SEANDAINYA PEMERINTAH JEPANG BANGKRUT, PEREKONOMIAN JEPANG MASIH AKAN KOKOH KARENA DISANGGA SEKTOR SWASTA.
JADI SANGAT JELAS BEDA ANTARA KONDISI UTANG
DEBAT SUKU BUNGA
Hal menarik lain yang perlu dicermati adalah kecenderungan utang tidak hanya terjadi di level pemerintah suatu Negara, namun juga rakyatnya.
MENGAPA MEREKA AGRESIF BERUTANG…?
Jawabnya adalah karena SUKU BUNGA RENDAH. Bahkan di Jepang, suku bunga Nyaris 0 (nol) persen. Dari sini timbul perdebatan. Di satu pihak, SUKU BUNGA YANG RENDAH AKAN BERDAMPAK POSTIF MENSTIMULASI EKONOMI. Namun, HAL INI JUGA MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN, KEBERANIAN BERUTANG YANG MAKIN TINGGI MENIMBULKAN BAHAYA BAGI KONSUMSI DI MASA DEPAN (“FUTURE CONSUMPTION”).
Suatu perekonomian yang didorong konsumsi sekarang (yang dibiayai utang), namun juga bagaimana kelak ketika harus menganggur? BUKANKAH NANTINYA DAYA DORONG SISI KONSUMSI (“DEMAND SIDE”) AKAN TERGANGGU DI MASA DATANG? Dalam laporan tahunan “THE BANK FOR INTERNATIONAL SETTLEMENT (BIS)”, menyayangkan, bank sentral kurang memberikan perhatian terhadap PERTUMBUHAN KREDIT. Mestinya ini dikontrol, sehingga tidak menyebabkan “MISMATCH” yang kemudian bermasalah di kemudian hari (“BAD DEBT”). Bank-bank dinilai terlalu “UNDERESTIMATE” resiko, sehingga menyebabkan “OVEREXTENDED CREDIT”.
BIS juga mengingatkan, sebagian besar bank sentral terlalu MEMFOKUSKAN KEBIJAKANNYA TERHADAP MASALAH INFLASI. Hal ini seperti yang dilakukan Bank Indonesia (BI) juga. Padahal, INFLASI BUKAN LAGI SATU-SATUNYA MUSUH. Di AS, saat Alan Greenspan merasa bahwa MASALAH PENGANGGURAN (“UNEMPLOYEMENT”) LEBIH SERIUS DARIPADA MASALAH INFLASI, maka ia berani MEMANGKAS HABIS SUKU BUNGA BERKALI-KALI. Hasilnya bagus, RENDAHNYA SUKU BUNGA MEMBERI RUANG TERHADAP EKSPANSI KREDIT, MENGGAIRAHKAN BURSA SAHAM, DAN MECIPTAKAN LAPANGAN KERJA. Di Jepang, KEBIJAKAN SUKU BUNGA RENDAH DALAM JANGKA WAKTU PANJANG, meski menyebabkan hasrat rumah tangga untuk berutang menjadi amat besar, ternyata sukses menyebabkan KURS YEN MELEMAH KE LEVEL 134 YEN PER DOLA AS. Jepang sangat berkepentingan menurunkan kurs yen, agar SUPAYA EKSPORNYA KUAT.
Beginilah konfigurasi mutakhir perekonomian dunia. Satu hal dapat disimpulkan, PEREKONOMIAN DUNIA BENAR-BENAR MENYERUPAI SIKLUS.
Bagiamana dengan
Sedangkan kebijakan suku bunga kita, MASIH TIDAK JELAS. Sementara inflasi juga tidak bisa diturunkan, yang ada hanya dibuat-buat supaya turun. Dengan fakta ini, masihkah kita mempertahankan kebijakan suku bunga kita, maupun kebijakan uang kita..? Kalaupun dilanjutkan, sampai kapan…?
Pertanyaan ini masih terus mengganggu di benak saya.. Mudah2an tulisan ini bisa dibaca ataupun terbaca oleh Menkeu, dan beliau juga dapat memberikan jawaban yang rasional dan memuaskan.