Jumat, 11 September 2009

Utang

Satu pejelasan menarik dari Menkeu saat dicecar wartawan mengenai utang pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, menkeu berkilah, saat ini praktis hampir semua Negara menghadapi masalah utang. Bukan cuman Indonesia saja yang terbebani utang maha dashyat, yang jumlahnya berimbang dengan PDB (Produk Domestik Brutto) setahun, bahkan Negara-negara maju juga menghadapi persoalan utang pemerintah (“GOVERNMENT DEBT”). Saya tahu, bahwa menkeu sedang menjalankan tugas untuk menenangkan masyarakat dari kepanikan utang. Suatu terapi yang sengaja di ungkapkan untuk menenangkan masyarakat. Dan, faktanya memang demikian. Wabah utang memang telah terjangkit di mana-mana, di seluruh dunia, menjadi fenomena global. Akan tetapi, meski demikian, tentu saja TIDAK DAPAT DISIMPULKAN BAHWA “UTANG ADALAH MASALAH TIPIKAL YANG DIHADAPI BANYAK NEGARA, SEHINGGA DIANGGAP BIASA-BIASA SAJA”. Utang yang dihadapi bangsa Indonesia tetap merupakan persoalan berat, yang praktis akan menghantui generasi-generasi mendatang.

“HOROR” KEBANGKRUTAN

Utang adalah contoh produk yang bisa dibilang amat “global” atau universal. Semua pihak memerlukan utang, mulai dari rumah tangga (“HOUSEHOLD”), perusahaan (COMPANY”), sampai pemerintah (“GOVERNMENT”). SEMUANYA BERUTANG.. Utang secara tidak disadari telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan ekonomi. Makin lama, KECENDERUNGAN UTANG MENJADI MAKIN BERANI, ATAU KIAN “EXCESSIVE”. Peristiwa bangkrutnya perekonomian Argentina dengan total utang sebesar 140-an milliard dolar AS, telah memberikan isyarat kuat bahwa betapa masalah utang kini telah berkembang menjadi horror global.

Laporan utama dari “THE ECONOMIST- PROSPECT FOT THE WORLD ECONOMY” bahkan mengingatkan, bahwa betapa peluang pemulihan ekonomi di dunia saat ini AMAT TERGANTUNG DAN TERBEBANI PERSOALAN UTANG. Utang bisa menjegal upaya “RECOVERY” ekonomi dan meredam efek resesi yang dalam. Namun optimisme yang sempat beredar, saat ini patut diragukan. Kebangkrutan beberapa perusahaan raksasa di Amerika merupakan salah satu alasannya.

PAUL KRUGMAN pernah menulis di THE NEW YORK TIMES tentang kebangkrutan salah satu perusahaan energi raksasa yaitu “ENRON”. Di sana dia menuliskan bahwa, skandal enron seolah menyadarkan kita bahwa, ternyata kita seperti orang yang tidak tahu apa-apa (“BLIND INNOCENCE”) soal ekonomi, karena mendadak bisa terjadi kebangkrutan dahsayat di depan mata, tanpa bisa mengantisipasi sebelumnya. Ironis. Kita tiba-tiba menjadi buta, padahal secara faktual kita justru sedang asyik memasuki era globalisasi, liberalisasi, transparansi, kecanggihan tekologi informasi, persaingan bebas dan sebagainya.

Kata kuncinya adalah “DISIPLIN” dan “KECEROBOHAN. Kasus- kasus kebangkrutan Argentina, Enron dan banyak perusahaan lainnya, termasuk perekonomian Indonesia, juga terkait dengan dua kata kunci ini. Argentina CEROBOH DALAM MENGGUNAKAN DANA UTANG. UTANG LUAR NEGERINYA BANYAK, NAMUN KEMAMPUAN MENGHASILKAN DEVISANYA RENDAH, SEHINGGA UTANG-UTANG ITU TIDAK TERBAYAR. Enron juga ceroboh dalam menggunakan dananya yang diindikasikan terkait pembiayaan politik George Bush Jr dan Dick Chaney.

Indonesia…? Ceritanya SAMA SAJA. Pemerintah berutang dari luar negeri sejak era Soeharto dan sempat mencapai sekitar 70 Milliar Dollar US. Sektor swasta, yang mulai gencar berutang sejak tahun 1990- an, utang luar negerinya pernah mencapai 67 Milliar Dollar US. Sekarang berganti, Pemerintah berutang kepada masyarakat domestik, apalagi sejak SBY memerintah, pertambahan utang sangat Fantastis, tergambar dengan pengeluaran SUN (Surat Utang Negara). Anehnya lagi, untuk Menkeu sangat bangga dengan hasil Penjualan SUN yang sudah dijual di luar negeri. Apa yang menjadi dasar beliau bangga terhadap penjualan SUN yang laku di pasar luar negeri merupakan alasan yang sangat tidak masuk akal, sungguh alasan yang “ASININE”.

Menkeu juga pernah mencoba membandingkan Negara ini dengan Negara-negara maju untuk masalah utang ini. Beliau mengatakan, masih banyak Negara lain yang rasio utang pemerintahya berbanding PDB melebihi 100 persen. Beliau mencontohkan, Negara Jepang. Jepang rasio utangnya mencapai 140 persen terhadap PDB. Ini merupakan rekor tertinggi utang pemerintah Negara maju.

Dalam hal ini beliau memang benar, Akan tetapi JANGAN SALAH MENYIMPULKAN (“MISLEADING”). Ini tidak berarti bahwa KONDISI JEPANG LEBIH JELEK DARI INDONESIA. Masalahnya adalah, bahwa Utang pemerintah Jepang, seperti Negara-negara maju lainnya, biasanya DILAKUKAN TERHADAP MASAYARAKAT DOMESTIK, BUKAN TERHADAP LUAR NEGERI. Anggaran belanja pemerintah Negara maju biasanya didanai dari dua sumber yaitu, PENERIMAAN PAJAK, DAN PENERBITAN OBLIGASI PEMERINTAH. Di AS, Obligasi pemerintah jangka pendek “T-BILLS (TREASURY BILLS)” laku dijual dan diminati para fund manager internasional. Dan pembeli internasional terbesar obligasi pemerintah AS ini, ternyata pada investor asing asal JEPANG.

Jadi inilah FAKTA KONFIGURASI EKONOMI GLOBAL kini, PEMERINTAH JEPANG ADALAH PENGUTANG TERBESAR (RASIO UTANG TERHADAP PDB MENCAPAI 40 PERSEN), TETAPI RAKYATNYA, YANG DIWAKILI PADA INVESTOR ATAU FUND MANAGER, MERUPAKAN PEMILIK TERBESAR OBLIGASI GLOBAL. Jadi apa hubungan semuanya ini dengan kestabilan ekonomi pemerintah…? Jawabannya adalah bahwa UTANG PEMERINTAH JEPANG BUKAN HAL YANG PERLU DIRISAUKAN. SEANDAINYA PEMERINTAH JEPANG BANGKRUT, PEREKONOMIAN JEPANG MASIH AKAN KOKOH KARENA DISANGGA SEKTOR SWASTA.

JADI SANGAT JELAS BEDA ANTARA KONDISI UTANG INDONESIA DENGAN JEPANG DAN NEGARA-NEGARA MAJU LAINNYA.

DEBAT SUKU BUNGA

Hal menarik lain yang perlu dicermati adalah kecenderungan utang tidak hanya terjadi di level pemerintah suatu Negara, namun juga rakyatnya. Rakyat AS dan Jerman pernah menunjukkan gejala peningkatan tajam dalam hal utang. Sedangkan Inggris, sudah terlebih dahulu dibandingkan kedua Negara ini tinggi tingkat utang rakyatnya. Di tiga Negara makmur ini, rasio utang rumah tangga terhadap pendapatan yang siap dibelanjakan (“HOUSEHOLD DEBTS TO PERSONAL DISPOSABLE INCOME”) mencapai 110-120 persen. Yang paling tinggi, lagi-lagi Jepang, yang dalam 15 tahun terakhir rasionya selalu di atas 130 persen. Artinya utang rumah tangga di Jepang 30 PERSEN DIATAS TINGKAT PENDAPATAN NETTONYA.

MENGAPA MEREKA AGRESIF BERUTANG…?

Jawabnya adalah karena SUKU BUNGA RENDAH. Bahkan di Jepang, suku bunga Nyaris 0 (nol) persen. Dari sini timbul perdebatan. Di satu pihak, SUKU BUNGA YANG RENDAH AKAN BERDAMPAK POSTIF MENSTIMULASI EKONOMI. Namun, HAL INI JUGA MENIMBULKAN KEKHAWATIRAN, KEBERANIAN BERUTANG YANG MAKIN TINGGI MENIMBULKAN BAHAYA BAGI KONSUMSI DI MASA DEPAN (“FUTURE CONSUMPTION”).

Suatu perekonomian yang didorong konsumsi sekarang (yang dibiayai utang), namun juga bagaimana kelak ketika harus menganggur? BUKANKAH NANTINYA DAYA DORONG SISI KONSUMSI (“DEMAND SIDE”) AKAN TERGANGGU DI MASA DATANG? Dalam laporan tahunan “THE BANK FOR INTERNATIONAL SETTLEMENT (BIS)”, menyayangkan, bank sentral kurang memberikan perhatian terhadap PERTUMBUHAN KREDIT. Mestinya ini dikontrol, sehingga tidak menyebabkan “MISMATCH” yang kemudian bermasalah di kemudian hari (“BAD DEBT”). Bank-bank dinilai terlalu “UNDERESTIMATE” resiko, sehingga menyebabkan “OVEREXTENDED CREDIT”.

BIS juga mengingatkan, sebagian besar bank sentral terlalu MEMFOKUSKAN KEBIJAKANNYA TERHADAP MASALAH INFLASI. Hal ini seperti yang dilakukan Bank Indonesia (BI) juga. Padahal, INFLASI BUKAN LAGI SATU-SATUNYA MUSUH. Di AS, saat Alan Greenspan merasa bahwa MASALAH PENGANGGURAN (“UNEMPLOYEMENT”) LEBIH SERIUS DARIPADA MASALAH INFLASI, maka ia berani MEMANGKAS HABIS SUKU BUNGA BERKALI-KALI. Hasilnya bagus, RENDAHNYA SUKU BUNGA MEMBERI RUANG TERHADAP EKSPANSI KREDIT, MENGGAIRAHKAN BURSA SAHAM, DAN MECIPTAKAN LAPANGAN KERJA. Di Jepang, KEBIJAKAN SUKU BUNGA RENDAH DALAM JANGKA WAKTU PANJANG, meski menyebabkan hasrat rumah tangga untuk berutang menjadi amat besar, ternyata sukses menyebabkan KURS YEN MELEMAH KE LEVEL 134 YEN PER DOLA AS. Jepang sangat berkepentingan menurunkan kurs yen, agar SUPAYA EKSPORNYA KUAT.

Beginilah konfigurasi mutakhir perekonomian dunia. Satu hal dapat disimpulkan, PEREKONOMIAN DUNIA BENAR-BENAR MENYERUPAI SIKLUS. Ada kalanya INSENTIF EKSPANSI, misalnya dengan dorongan liberaliasai finansial. Namun, jika liberalisasi dirasa kebablasan, menimbulkan “MORAL HAZARD”, maka yang diperlukan adalah KOREKSI.

Bagiamana dengan Indonesia…? Utang telah menenggelamkan perkonomian Nasional, baik utang pemerintah maupun swasta. Muncul polemik APAKAH UTANG SWASTA KEPADA PEMERINTAH PERLU DIPERPANJANG CICILANNYA ATAU TIDAK. Perpanjangan waktu hanya perlu diberikan kepada debitor yang kooperatif, yang selama periode krisis menunjukkan itikad baiknnya untuk membayar, saya kira semua kita setuju akan hal ini.

Sedangkan kebijakan suku bunga kita, MASIH TIDAK JELAS. Sementara inflasi juga tidak bisa diturunkan, yang ada hanya dibuat-buat supaya turun. Dengan fakta ini, masihkah kita mempertahankan kebijakan suku bunga kita, maupun kebijakan uang kita..? Kalaupun dilanjutkan, sampai kapan…?

Pertanyaan ini masih terus mengganggu di benak saya.. Mudah2an tulisan ini bisa dibaca ataupun terbaca oleh Menkeu, dan beliau juga dapat memberikan jawaban yang rasional dan memuaskan.